Thursday, April 20, 2017

Anti kitab terjemahan adalah perilaku Kolonial Belanda.


Diinbox saya banyak dikirimi pesan bernada sinisme, diantaranya " kitabmu terjemahan", atau kadang ada seseorang bilang "dasar ngaji kitab terjemahan", kalau ditanya balik, " apakah kitab terjemahan haram?", dia langsung diam, karena memang tidak ada satupun ulama melarang kita membaca kitab-kitab karya ulama yang sudah diterjemahkan, memang sih yang ideal membaca kitab dalam ilmu agama adalah dalam bahasa Arab, namun tidak semua orang punya kemampuan itu. Lagian para ustadz di kajian Sunnah rata2 lulusan Univ. Madinah, dan jelas disana dalam belajar mengajar bukan menggunakan kitab terjemahan bahasa Indonesia.
Ini sebenarnya sungguh bikin sedih mungkin seseorang yang sinis terhadap kitab2 terjemahan terpengaruh kyainya atau ustadznya yang tidak suka akan dakwah Sunnah akhirnya berstatment sembarangan.
Asal tau saja dalam sejarah Indonesia pihak yang menghalangi dan melarang kitab Alquran dan kitab karya para ulama untuk diterjemahkan adalah Pemerintah Imperalis Belanda, selama berabad-abad Penjajah Belanda membatasi menerjemahkan ayat-ayat Alquran, bahkan mengancam para kyai dijaman itu agar tidak terlalu menjelaskan Alquran secara terang. Belanda takut jika umat muslim di Indonesia tau dan paham kandungan dalam Alquran menjadikan umat muslim di Indonesia mengetahui mana yang hak dan mana bathil, mana halal dan mana haram dst., sehingga dapat memicu semangat perjuangan umat muslim untuk melawan Penjajah Belanda, dan ini akan jadi masalah bagi pemerintah Belanda saat itu. Pemerintah Belanda lebih suka umat muslim selamanya bodoh sehingga dapat diperdaya selamanya.
Berikut kutipan dari Buku "Habis Gelap terbitlah terang", kumpulan surat RA.Kartini kepada sahabatnya, kutipan ini menggambarkan betapa sulitnya memahami isi Alquran, karena tidak ada terjemahannya, karena memang dilarang oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
--------------------------
Dalam suratnya kepada Stella Zihandelaar bertanggal 6 November 1899, RA Kartini menulis;
Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya?
Alquran terlalu suci; tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun, agar bisa dipahami setiap Muslim. Di sini tidak ada orang yang mengerti Bahasa Arab. Di sini, orang belajar Alquran tapi tidak memahami apa yang dibaca.
Aku pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghafal Bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya.
Aku pikir, tidak jadi orang soleh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati. Bukankah begitu Stella?
RA Kartini melanjutkan curhat-nya, tapi kali ini dalam surat bertanggal 15 Agustus 1902 yang dikirim ke Ny Abendanon.
Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlu dan manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Alquran, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya.
Jangan-jangan, guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepada aku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa. Kita ini teralu suci, sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya.

No comments:

Post a Comment