Sunday, January 8, 2017

Kenapa alergi dengan lafadz Bid'ah?


Paling gak enak jika memposting bab larangan bid'ah, pasti likenya sangat sedikit, dan juga pasti didebat oleh para pelakunya, dan dituduh bermacam-macam, muai sok nyunnah, sok masuk surga dan sok2 lainnya. Bahkan mungkin karena saking jahilnya dan gak tau bahaya bid'ah pada agama ini beberapa diantaranya mengkritik, lebih baik mendakwahkan menjauhi kemaksiatan seperti korupsi, zina, minum khmer dst. Namun itulah dakwah Sunnah, didalamnya pasti ada seruan untuk menjahi bid'ah, karena sejatinya bid'ah lawan dari As Sunnah, amalan bid'ah terbukti menjadi saingan bagi amalan yang sudah ada sunnahnya.
Bahaya bid'ah telah disampaikan para salaf dibanyak kitab, diantara nya yakni Syaikh Ibnul Qoyyim Al Jauziyah ketika menyampaikan hal apa saja yang perlu diperangi, beliau menempatkan bid'ah di nomer kedua setelah syirik, baru setelah itu adalah kemaksiatan. Bahkan seperti Imam At Atsaury mengatakan pelaku bid'ah lebih dicintai iblis daripada pelaku maksiat.
Dalam salah satu kajian Ustadz Abu Haidar As Sundawy mengatakan:
Ketahuilah saudara bid'ah lebih berbahaya dari kemaksiatan, karena pelakunya merasa berada diatas kebenaran, sementara pelaku kemaksiatan yakin dan sadar secara fitrah dia mengakui apa yang dikerjakannya adalah salah, dan dalam hati kecilnya ingin taubat dari kemaksiatan yang dia lakukan. Bukti nyata adalah ketika pelaku bid'ah merasa dalam kebenaran, dia mengajarkan amalan bid'ah yang dia yakini adalah amalan yang benar kepada anak dan istrinya, disampaikan kepada banyak orang dan berlangsung turun temurun hingga berabad-abad. Sementara pelaku kemaksiatan seperti pezina atau seorang pemabuk dia dalam dirinya berharap suatu hari anak dan sanak familinya tidak berbuat seperti dia, sehingga perbuatan itu tidak dia tularkan dan sampaikan."

Dari Ummul Mukminin Ummu Abdillah ‘Aisyah radhiyallahu’anha beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang mengada-adakan suatu perkara di dalam urusan [agama] kami ini yang bukan berasal darinya, maka ia pasti tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Di dalam riwayat Muslim, “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka ia pasti tertolak.”

Kedudukan Hadits

Imam Ibnu Daqiq al-’Ied rahimahullah mengatakan, “Hadits ini merupakan salah satu kaidah agung di dalam agama. Ia termasuk salah satu Jawami’ al-Kalim (kalimat yang ringkas dan sarat makna) yang dianugerahkan kepada al-Mushthofa [Nabi] shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia mengandung penegasan tertolaknya segala bentuk bid’ah dan perkara yang diada-adakan [dalam agama, pent]…” (lihat Syarh al-Arba’in Haditsan, hal. 25)

Syaikh Abdul Muhsin al-’Abbad hafizhahullah berkata, “Hadits ini adalah kaidah untuk menimbang amalan secara lahiriah, bahwasanya amal tidak dianggap benar kecuali apabila bersesuaian dengan syari’at. Sebagaimana halnya hadits Innamal a’malu bin niyat adalah kaidah untuk menimbang amal batin…” (lihat Kutub wa Rosa’il Abdul Muhsin [2/114])

Faidah Hadits

Hadits di atas memberikan pelajaran kepada kita, di antaranya:

Segala macam bid’ah di dalam agama -yang memang tidak dilandasi dalil al-Kitab maupun as-Sunnah- adalah tertolak, baik dalam hal keyakinan maupun amal ibadah. Pelakunya mendapatkan celaan sekadar dengan tingkat bid’ah dan sejauh mana penyimpangan mereka dari ajaran agama
Barangsiapa yang memberitakan suatu keyakinan yang tidak diberitakan oleh Allah dan Rasul-Nya maka dia adalah pelaku bid’ah
Barangsiapa yang beribadah kepada Allah dengan sesuatu yang tidak diizinkan oleh Allah dan Rasul-Nya atau melakukan ibadah dengan suatu hal yang tidak disyari’atkan maka dia juga pelaku bid’ah
Barangsiapa yang mengharamkan hal-hal yang mubah (boleh) atau beribadah kepada-Nya dengan amalan-amalan yang tidak diajarkan dalam syari’at maka dia adalah pelaku bid’ah
Barang siapa yang beribadah kepada Allah dengan landasan dalil dari Allah dan Rasul-Nya -baik dalam bentuk keyakinan ataupun amalan- maka hal itu akan diterima
Segala bentuk ibadah yang dilakukan dengan cara-cara yang dilarang maka hukumnya adalah tidak sah, karena ia tidak dilandasi oleh syari’at
Segala bentuk transaksi muamalah yang dilakukan dengan cara-cara yang dilarang oleh agama juga termasuk akad transaksi yang tidak sah
Larangan terhadap suatu bentuk ibadah atau muamalah melahirkan konsekuensi tidak sah atau tertolaknya ibadah atau muamalah yang dilakukan (lihat keterangan Syaikh as-Sa’di rahimahullah dalam al-Majmu’ah al-Kamilah [9/12-13])

Referensi dari artikel, "Bid'ah dan bahayanya", karya Ari Wahyudi Ssi. di muslim.or.id



No comments:

Post a Comment