Tuesday, March 13, 2018

ANDAI MEREKA MENGKAJI KITAB AL UMM KARYA IMAM SYAFII



Oleh Siswo Kusyudhanto 

Sebelum mengenal Dakwah Sunnah saya tidak tau bahwa banyak amalan yang biasa diamalkan didalam masyarakat ternyata banyak menyelisihi fatwa para ulama besar. 

Semisal di negri tercinta ini dimana umat Muslimnya mayoritas mengaku bermadzhab Syafiiyah, ternyata amalan2 mereka banyak menyelisihi fatwa pendiri madzhab tersebut.
Misalkan sering kita jumpai banyak orang yang bermadhzab Syafiiyah jika melakukan dzikir dan berdoa dengan cara mengeraskan suara, bahkan tidak jarang mereka melakukan acara istighosah, shalawatan, doa dan setemacamnya di lapangan bola atau stadion dengan speaker super kuat.

Padahal kalau menilik fatwa Imam Syafi’i dalam Kitab Al Umm, yang merupakan Maha Karya beliau, karena merupakan kitab fikih paling tinggi kedudukannya dalam madzhab Syafiiyah justru Imam Syafi’i melarang seorang imam mengeraskan suara dzikirnya.

Mungkin ini sebab utama kenapa Kitab Al Umm sangat langka dikaji dinegri yang mayoritas mengaku bermadzhab Syafiiyah ini, karena jika kitab tersebut dibahas ditengah umat Muslim dinegri ini tentu implikasinya luas, dengan banyaknya orang yang paham dzikir yang benar sesuai Sunnahnya, maka akan banyak orang meninggalkan amalan berdzikir dengan suara keras dan berjamaah, ujungnya amalan2 yang menyertainya akan lenyap, seperti tahlil kematian bakalan tidak ada lagi, shalawat nariyah tidak ada lagi, istighosah tidak ada lagi, haul tidak ada lagi, dan seterusnya. Karena masing2 orang yang bermadhzab Syafiiyah akan berdzikir dengan suara pelan dan tidak berjamaah.
------
Kutipan dari Kitab Al Umm :

Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah berkata :

Pendapatku untuk imam dan makmum hendaklah mereka berdzikir selepas selesai sholat. Hendaklah mereka memelankan (secara sir) dzikir kecuali jika imam ingin mengajar bacaan-bacaan dzikir tersebut, maka ketika itu dzikir dikeraskanlah, hingga dia menduga bahwa telah dipelajari darinya (bacaan-bacaan dzikir tersebut-pen), lalu setelah itu ia memelankan kembali dzikirnya. Karena sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman
وَلا تَجْهَرْ بِصَلاتِكَ وَلا تُخَافِتْ بِهَا
"Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya" (QS Al-Isroo' : 110) (Al-Umm 2/288).

Yaitu –wallahu A'lam- tatkala berdoa, "Dan janganlah engkau keraskan suaramu" yaitu "Jangan kau angkat suaramu", dan "Janganlah engkau merendahkannya" sehingga engkau sendiri tidak mendengar"

Adapun mengenai hadits-hadits yang menunjukkan bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi terdengar suara dzikirnya maka Imam Syafi’i menjelaskan seperti berikut:

Menurutku Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengeraskan (dzikir) sedikit agar orang-orang bisa belajar dari beliau. Kerana kebanyakan riwayat yang telah kami tulis bersama ini atau selainnya, tidak menyebut selepas salam terdapat tahlil dan takbir. Kadang-kala riwayat menyebut Nabi berdzikir selepas solat seperti yang aku nyatakan, kadang-kala disebut bahwa Nabi pergi tanpa berdzikir. Ummu Salamah menyebutkan bahwa Nabi selepas sholat menetap di tempat sholatnya akan tetapi tidak menyebutkan bahwa Nabi berdzikir dengan jahr (keras). Aku rasa beliau tidaklah menetap kecuali untuk berdzikir dengan dzikir yang tidak dikeraskan/dijaharkan.

Jika seseorang berkata: “Seperti apa?” (maksudnya permasalahan ini seperti permasalahan apa yang lain?-pen). Aku katakan, sebagaimana Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersolat di atas mimbar, dimana beliau berdiri dan rukuk di atasnya, kemudian beliau mundur belakang untuk sujud di atas tanah. Nabi tidaklah solat di atas mimbar pada kebanyakan usia beliau. Akan tetapi menurutku beliau ingin agar orang yang jauh yang tidak melihat beliau, dapat mengetahui bagaimana cara berdiri (dalam sholat), rukuk dan bangun (dari rukuk). Beliau ingin mengajarkan mereka keluasan dalam itu semua.

Aku suka sekiranya imam berzikir nama Allah di tempat duduknya sebentar dengan kadar hingga perginya jama'ah wanita sebagaimana yang dikatakan oleh Ummu Salamah. Kemudian imam boleh bangun. Jika dia bangun sebelum itu, atau duduk lebih lama dari itu, tidak mengapa. Makmum boleh pergi setelah imam selesai memberi salam, sebelum imam bangun. Jika dia tunda/akhirkan sehingga imam pergi, atau ia pergi bersama imam, maka itu lebih aku sukai untuknya. " (Al-Umm 2/288-289)

Sumber referensi" Ajaran-ajaran Imam Syafii yang dilanggar pengikutnya ", karya Ustadz Firanda Adirja di Firanda. Co

No comments:

Post a Comment