Wednesday, October 25, 2017

SAYA TIDAK PACARAN DAN SAYA BAHAGIA



Oleh Siswo Kusyudhanto.

Dahulu kala saya ketika belum mengenal Dakwah Sunnah masih remaja saya selalu berfikir bahwa pacaran itu perlu untuk mengenal satu sama lain sebelum menjelang pernikahan, dengan pacaran kita lebih mengenal pasangan hidup kita dan itu usaha agar tidak menyesal salah pilih dikemudian hari. Ternyata cara berfikir seperti itu adalah hasil doktrinasi flim dan sinetron yang mungkin dulu sering saya tonton, justru saya temui banyak pasangan yang pacaran sebelum pernikahan pada akhirnya perkawinan mereka bermasalah, dan akhirnya bercerai. Dan Alhamdulillah sejak mengenal dakwah Sunnah jadi paham bagaimana seharusnya dua orang manusia mencapai pernikahan dengan cara syar'i, yakni tampa pacaran justru jauh lebih baik. Dan sayapun menikah tampa proses pacaran, dan saya bahagia sejauh ini, sungguh benar Allah dan RasulNya.

Dalam salah satu kajian remaja Ustadz Abu Zubair Haawary menceritakan pada jamaah masa-masa beliau kost ketika masih kuliah di Jakarta, bersama teman lainnya beliau mengontrak sebuah rumah dengan dua kamar, pada suatu hari rumah sebelah mereka dikontrak oleh sepasang pengantin baru, dikisahkan proses pernikahan mereka berlangsung cepat, pasangan muda itu adalah aktivis dakwah, keduanya adalah sama2 berilmu dalam agama sehingga mulai ta'aruf sampai menikah hanya memakan waktu beberapa bulan, artinya sepasang pengantin ini tidak pernah pacaran sama sekali.

Maka anak2 kost di tempat Ustadz Abu Zubair Haawary berada sering sulit tidur nyenyak disaat malam karena rumah sebelah yang tinggali pasagan pengantin baru itu sering ribut, sering ada suara bercanda, cekikikan, suara orang saling berkejaran, intinya rumah itu menggambarkan kegembiraan siang dan malam. Tidak berselang lama si istri dari pasagan pengantin baru itu hamil anak pertama dan merekapun pindah rumah kekontrakan lain yang lebih besar.

Tidak berselang lama rumah itu dikontrak oleh pasangan pengantin baru lainnya, namun kali ini suasana sehari-hari dirumah mereka jauh berbeda dengan pasangan pengantin sebelumnya yang penuh keceriaan, pasangan yang baru masuk ini hari-harinya diwarnai kesunyian, dingin, tidak nampak kemesraan diantara keduanya, usut punya usut ternyata pasangan ini sebelumnya sudah melalui proses pacaran selama 3 tahun sebelum menikah. Bahkan dari mulut wanita pengantin baru itu keluar keluh kesah, bahwa suaminya tidak semesra saat pacaran dulu, kata-kata indah dan penuh janji manis ternyata adalah kebohongan saja, menurutnya jauh sekali perbedaan saat pacaran dulu dengan sekarang saat menikah.
Kesimpulannya jauhi pacaran, karena sejujurnya pacaran penuh kebohongan, kata2 manis tampa makna, pacaran adalah cinta palsu, jika seseorang inginkan cinta yang asli maka menikahlah, jauhi pacaran.

Perhatikanlah sabda Rosululloh shallallahu’alaihi wa sallam:

“Ditetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina, akan diperolehnya hal itu, tidak bisa tidak. Kedua mata itu berzina, zinanya dengan memandang. Kedua telinga itu berzina, zinanya dengan mendengarkan. Lisan itu berzina, zinanya dengan berbicara. Tangan itu berzina, zinanya dengan memegang. Kaki itu berzina, zinanya dengan melangkah. Sementara itu, hati berkeinginan dan beranganangan sedangkan kemaluan yang membenarkan itu semua atau mendustakannya.” (H.R. Muslim: 2657, alBukhori: 6243).

Al Imam an Nawawi rahimahullah berkata: “Makna hadits di atas, pada anak Adam itu ditetapkan bagiannya dari zina. Di antara mereka ada yang melakukan zina secara hakiki dengan memasukkan farji (kemaluan)nya ke dalam farji yang haram. Ada yang zinanya secara majazi (kiasan) dengan memandang wanita yang haram, mendengar perbuatan zina dan perkara yang mengantarkan kepada zina, atau dengan sentuhan tangan di mana tangannya meraba wanita yang bukan mahromnya atau menciumnya, atau kakinya melangkah untuk menuju ke tempat berzina, atau melihat zina, atau menyentuh wanita yang bukan mahromnya, atau melakukan pembicaraan yang haram dengan wanita yang bukan mahromnya dan semisalnya, atau ia memikirkan dalam hatinya. Semuanya ini termasuk zina secara majazi.” (Syarah Shohih Muslim: 16/156157)

referensi shalafusshaleh.blogspot.co

No comments:

Post a Comment