Thursday, March 28, 2019

KUTITIP SURAT INI UNTUKMU




Karya Ustadz Armen Halim Naro Rahimahullah 
------------
Assalamu'alaikum,
Segala puji Ibu panjatkan kehadirat Allah ta'ala yang telah memudahkan 
Ibu untuk beribadah kepada-Nya. Shalawat serta salam Ibu sampaikan 
kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, keluarga dan para 
sahabatnya. Amin.
Wahai anakku, 
Surat ini datang dari Ibumu yang selalu dirundung sengsara. Setelah 
berpikir panjang Ibu mencoba untuk menulis dan menggoreskan pena, 
sekalipun keraguan dan rasa malu menyelimuti diri. Setiap kali 
menulis, setiap kali itu pula gores tulisan terhalang oleh tangis, dan 
setiap kali menitikkan air mata setiap itu pula hati terluka.
Wahai anakku! 
Sepanjang masa yang telah engkau lewati, kulihat engkau telah menjadi 
laki-laki dewasa, laki-laki yang cerdas dan bijak! Karenanya engkau 
pantas membaca tulisan ini, sekalipun nantinya engkau remas kertas ini 
lalu engkau merobeknya, sebagaimana sebelumnya engkau telah remas hati 
dan telah engkau robek pula perasaanku.
Wahai anakku. 
25 tahun telah berlalu, dan tahun-tahun itu merupakan tahun 
kebahagiaan dalam kehidupanku. Suatu ketika dokter datang menyampaikan 
kabar tentang kehamilanku dan semua ibu sangat mengetahui arti kalimat 
tersebut. Bercampur rasa gembira dan bahagia dalam diri ini 
sebagaimana ia adalah awal mula dari perubahan fisik dan emosi. 
Semenjak kabar gembira tersebut aku membawamu 9 bulan. Tidur, berdiri, 
makan dan bernafas dalam kesulitan. Akan tetapi itu semua tidak 
mengurangi cinta dan kasih sayangku kepadamu, bahkan ia tumbuh bersama 
berjalannya waktu.
Aku mengandungmu, wahai anakku! 
Pada kondisi lemah di atas lemah, bersamaan dengan itu aku begitu 
gembira tatkala merasakan melihat terjangan kakimu dan balikan badanmu 
di perutku. Aku merasa puas setiap aku menimbang diriku, karena 
semakin hari semakin bertambah berat perutku, berarti engkau sehat wal 
afiat dalam rahimku. Penderitaan yang berkepanjangan menderaku, 
sampailah saat itu, ketika fajar pada malam itu, yang aku tidak dapat 
tidur dan memejamkan mataku barang sekejap pun. Aku merasakan sakit 
yang tidak tertahankan dan rasa takut yang tidak bisa dilukiskan. 
Sakit itu terus berlanjut sehingga membuatku tidak dapat lagi 
menangis. Sebanyak itu pula aku melihat kematian menari-nari di 
pelupuk mataku, hingga tibalah waktunya engkau keluar ke dunia. Engkau 
pun lahir. Tangisku bercampur dengan tangismu, air mata kebahagiaan. 
Dengan semua itu, sirna semua keletihan dan kesedihan, hilang semua 
sakit dan penderitaan, bahkan kasihku padamu semakin bertambah dengan 
bertambah kuatnya sakit. Aku raih dirimu sebelum aku meraih minuman, 
aku peluk cium dirimu sebelum meneguk satu tetes air ke 
kerongkonganku.
Wahai anakku. 
Telah berlalu tahun dari usiamu, aku membawamu dengan hatiku dan 
memandikanmu dengan kedua tangan kasih sayangku. Saripati hidupku 
kuberikan kepadamu. Aku tidak tidur demi tidurmu, berletih demi 
kebahagiaanmu. Harapanku pada setiap harinya, agar aku melihat 
senyumanmu. Kebahagiaanku setiap saat adalah celotehmu dalam meminta
sesuatu, agar aku berbuat sesuatu untukmu. itulah kebahagiaanku!
Kemudian, berlalulah waktu. Hari berganti hari, bulan berganti bulan 
dan tahun berganti tahun. Selama itu pula aku setia menjadi pelayanmu 
yang tidak pernah lalai, menjadi dayangmu yang tidak pernah berhenti, 
dan menjadi pekerjamu yang tidak pernah mengenal lelah serta 
mendo'akan selalu kebaikan dan taufiq untukmu. 
Aku selalu memperhatikan dirimu hari demi hari hingga engkau menjadi 
dewasa. Badanmu yang tegap, ototmu yang kekar, kumis dan jambang tipis 
yang telah menghiasi wajahmu, telah menambah ketampananmu. Tatkala itu
aku mulai melirik ke kiri dan ke kanan demi mencari pasangan hidupmu.
Semakin dekat hari perkawinanmu, semakin dekat pula hari kepergianmu. 
saat itu pula hatiku mulai serasa teriris-iris, air mataku mengalir, 
entah apa rasanya hati ini. Bahagia telah bercampur dengan duka, 
tangis telah bercampur pula dengan tawa. Bahagia karena engkau 
mendapatkan pasangan dan sedih karena engkau pelipur hatiku akan 
berpisah denganku.
Waktu berlalu seakan-akan aku menyeretnya dengan berat. Kiranya 
setelah perkawinan itu aku tidak lagi mengenal dirimu, senyummu yang 
selama ini menjadi pelipur duka dan kesedihan, sekarang telah sirna 
bagaikan matahari yang ditutupi oleh kegelapan malam. Tawamu yang 
selama ini kujadikan buluh perindu, sekarang telah tenggelam seperti 
batu yang dijatuhkan ke dalam kolam yang hening, dengan dedaunan yang 
berguguran. Aku benar-benar tidak mengenalmu lagi karena engkau telah 
melupakanku dan melupakan hakku.
Terasa lama hari-hari yang kulewati hanya untuk ingin melihat rupamu. 
Detik demi detik kuhitung demi mendengarkan suaramu. Akan tetapi 
penantian kurasakan sangat panjang. Aku selalu berdiri di pintu hanya 
untuk melihat dan menanti kedatanganmu. Setiap kali berderit pintu aku 
manyangka bahwa engkaulah orang yang datang itu. Setiap kali telepon 
berdering aku merasa bahwa engkaulah yang menelepon. Setiap suara 
kendaraan yang lewat aku merasa bahwa engkaulah yang datang. 
Akan tetapi, semua itu tidak ada. Penantianku sia-sia dan harapanku 
hancur berkeping, yang ada hanya keputusasaan. Yang tersisa hanyalah 
kesedihan dari semua keletihan yang selama ini kurasakan. Sambil 
menangisi diri dan nasib yang memang telah ditakdirkan oleh-Nya.
Anakku. 
Ibumu ini tidaklah meminta banyak, dan tidaklah menagih kepadamu yang 
bukan-bukan. Yang Ibu pinta, jadikan ibumu sebagai sahabat dalam 
kehidupanmu. Jadikanlah ibumu yang malang ini sebagai pembantu di 
rumahmu, agar bisa juga aku menatap wajahmu, agar Ibu teringat pula 
dengan hari-hari bahagia masa kecilmu.
Dan Ibu memohon kepadamu, Nak! 
Janganlah engkau memasang jerat permusuhan denganku, jangan engkau 
buang wajahmu ketika Ibu hendak memandang wajahmu!! Yang Ibu tagih 
kepadamu, jadikanlah rumah ibumu, salah satu tempat persinggahanmu, 
agar engkau dapat sekali-kali singgah ke sana sekalipun hanya satu 
detik. Jangan jadikan ia sebagai tempat sampah yang tidak pernah 
engkau kunjungi, atau sekiranya terpaksa engkau datangi sambil engkau 
tutup hidungmu dan engkaupun berlalu pergi.
Anakku, telah bungkuk pula punggungku. Bergemetar tanganku, karena 
badanku telah dimakan oleh usia dan digerogoti oleh penyakit. Berdiri 
seharusnya dipapah, dudukpun seharusnya dibopong, sekalipun begitu 
cintaku kepadamu masih seperti dulu. Masih seperti lautan yang tidak 
pernah kering. Masih seperti angin yang tidak pernah berhenti. 
Sekiranya engkau dimuliakan satu hari saja oleh seseorang, niscaya 
engkau akan balas kebaikannya dengan kebaikan setimpal. Sedangkan 
kepada ibumu. Mana balas budimu, nak!? Mana balasan baikmu! Bukankah 
air susu seharusnya dibalas dengan air susu serupa?! Akan tetapi 
kenapa nak! Susu yang Ibu berikan engkau balas dengan tuba. Bukankah 
Allah ta'ala telah berfirman, "Bukankah balasan kebaikan kecuali 
dengan kebaikan pula?!" (QS. Ar Rahman: 60) Sampai begitu keraskah 
hatimu, dan sudah begitu jauhkah dirimu?! Setelah berlalunya hari dan 
berselangnya waktu?!
Wahai anakku, setiap kali aku mendengar bahwa engkau bahagia dengan 
hidupmu, setiap itu pula bertambah kebahagiaanku. Bagaimana tidak, 
engkau adalah buah dari kedua tanganku, engkaulah hasil dari 
keletihanku. Engkaulah laba dari semua usahaku! Kiranya dosa apa yang 
telah kuperbuat sehingga engkau jadikan diriku musuh bebuyutanmu?! 
Pernahkah aku berbuat khilaf dalam salah satu waktu selama bergaul 
denganmu, atau pernahkah aku berbuat lalai dalam melayanimu?
Terus, jika tidak demikian, sulitkah bagimu menjadikan statusku 
sebagai budak dan pembantu yang paling hina dari sekian banyak 
pembantumu. Semua mereka telah mendapatkan upahnya!? Mana upah yang 
layak untukku wahai anakku! 
Dapatkah engkau berikan sedikit perlindungan kepadaku di bawah naungan 
kebesaranmu? Dapatkah engkau menganugerahkan sedikit kasih sayangmu
demi mengobati derita orang tua yang malang ini? Sedangkan Allah 
ta'ala mencintai orang yang berbuat baik.
Wahai anakku!! 
Aku hanya ingin melihat wajahmu, dan aku tidak menginginkan yang lain. 
Wahai anakku! Hatiku teriris, air mataku mengalir, sedangkan engkau 
sehat wal afiat. Orang-orang sering mengatakan bahwa engkau seorang 
laki-laki supel, dermawan, dan berbudi. Anakku. Tidak tersentuhkah 
hatimu terhadap seorang wanita tua yang lemah, tidak terenyuhkah 
jiwamu melihat orang tua yang telah renta ini, ia binasa dimakan oleh 
rindu, berselimutkan kesedihan dan berpakaian kedukaan!? Bukan karena 
apa-apa?! Akan tetapi hanya karena engkau telah berhasil mengalirkan 
air matanya. Hanya karena engkau telah membalasnya dengan luka di 
hatinya. hanya karena engkau telah pandai menikam dirinya dengan 
belati durhakamu tepat menghujam jantungnya. hanya karena engkau telah 
berhasil pula memutuskan tali silaturrahim?!
Wahai anakku, ibumu inilah sebenarnya pintu surga bagimu. Maka titilah 
jembatan itu menujunya, lewatilah jalannya dengan senyuman yang manis, 
pemaafan dan balas budi yang baik. Semoga aku bertemu denganmu di sana 
dengan kasih sayang Allah ta'ala, sebagaimana dalam hadits: "Orang tua 
adalah pintu surga yang di tengah. Sekiranya engkau mau, maka sia- 
siakanlah pintu itu atau jagalah!!" (HR. Ahmad)
Anakku. 
Aku sangat mengenalmu, tahu sifat dan akhlakmu. Semenjak engkau telah 
beranjak dewasa saat itu pula tamak dan labamu kepada pahala dan surga 
begitu tinggi. Engkau selalu bercerita tentang keutamaan shalat 
berjamaah dan shaf pertama. Engkau selalu berniat untuk berinfak dan 
bersedekah.
Akan tetapi, anakku! 
Mungkin ada satu hadits yang terlupakan olehmu! Satu keutamaan besar 
yang terlalaikan olehmu yaitu bahwa Nabi yang mulia shallallahu 
'alaihi wa sallam bersabda: Dari Ibnu Mas'ud radhiallahu 'anhu 
berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, 
"Wahai Rasulullah, amal apa yang paling mulia? Beliau bersabda: 
"Shalat pada waktunya", aku berkata: "Kemudian apa, wahai Rasulullah?" 
Beliau bersabda: "Berbakti kepada kedua orang tua", dan aku berkata: 
"Kemudian, wahai Rasulullah!" Beliau menjawab, "Jihad di jalan Allah", 
lalu beliau diam. Sekiranya aku bertanya lagi, niscaya beliau akan 
menjawabnya. (Muttafaqun 'alaih)
Wahai anakku!! 
Ini aku, pahalamu, tanpa engkau bersusah payah untuk memerdekakan 
budak atau berletih dalam berinfak. Pernahkah engkau mendengar cerita 
seorang ayah yang telah meninggalkan keluarga dan anak-anaknya dan 
berangkat jauh dari negerinya untuk mencari tambang emas?! Setelah 
tiga puluh tahun dalam perantauan, kiranya yang ia bawa pulang hanya 
tangan hampa dan kegagalan. Dia telah gagal dalam usahanya. Setibanya 
di rumah, orang tersebut tidak lagi melihat gubuk reotnya, tetapi yang 
dilihatnya adalah sebuah perusahaan tambang emas yang besar. Berletih 
mencari emas di negeri orang kiranya, di sebelah gubuk reotnya orang 
mendirikan tambang emas. 
Begitulah perumpamaanmu dengan kebaikan. Engkau berletih mencari 
pahala, engkau telah beramal banyak, tapi engkau telah lupa bahwa di 
dekatmu ada pahala yang maha besar. Di sampingmu ada orang yang dapat
menghalangi atau mempercepat amalmu. Bukankah ridhoku adalah keridhoan 
Allah ta'ala, dan murkaku adalah kemurkaan-Nya?
Anakku, yang aku cemaskan terhadapmu, yang aku takutkan bahwa jangan-
jangan engkaulah yang dimaksudkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam 
dalam sabdanya: "Merugilah seseorang, merugilah seseorang, merugilah 
seseorang", dikatakan, "Siapa dia,wahai Rasulullah?, Rasulullah 
menjawab, "Orang yang mendapatkan kedua ayah ibunya ketika tua, dan 
tidak memasukkannya ke surga". (HR. Muslim)
Anakku. 
Aku tidak akan angkat keluhan ini ke langit dan aku tidak adukan duka 
ini kepada Allah, karena sekiranya keluhan ini telah membumbung 
menembus awan, melewati pintu-pintu langit, maka akan menimpamu 
kebinasaan dan kesengsaraan yang tidak ada obatnya dan tidak ada 
dokter yang dapat menyembuhkannya. Aku tidak akan melakukannya, Nak! 
Bagaimana aku akan melakukannya sedangkan engkau adalah jantung 
hatiku. Bagaimana ibumu ini kuat menengadahkan tangannya ke langit 
sedangkan engkau adalah pelipur laraku. Bagaimana Ibu tega melihatmu 
merana terkena do'a mustajab, padahal engkau bagiku adalah kebahagiaan 
hidupku.
Bangunlah Nak! 
Uban sudah mulai merambat di kepalamu. Akan berlalu masa hingga engkau 
akan menjadi tua pula, dan al jaza' min jinsil amal. "Engkau akan 
memetik sesuai dengan apa yang engkau tanam." Aku tidak ingin engkau 
nantinya menulis surat yang sama kepada anak-anakmu, engkau tulis 
dengan air matamu sebagaimana aku menulisnya dengan air mata itu pula 
kepadamu.
Wahai anakku, bertaqwalah kepada Allah, dan kepada ibumu, peganglah 
kakinya!! 
Sesungguhnya surga di kakinya. Basuhlah air matanya, balurlah 
kesedihannya, kencangkan tulang ringkihnya, dan kokohkan badannya yang
telah lapuk.
Anakku. 
Setelah engkau membaca surat ini,terserah padamu! Apakah engkau sadar 
dan akan kembali atau engkau ingin merobeknya.
Wassalam, 
Ibumu

No comments:

Post a Comment