Friday, April 13, 2018

Laa Adri(saya tidak tau) adalah sebagian dari ilmu.



Oleh Siswo Kusyudhanto
Ada seorang teman membanggakan ustadznya yang mampu menjawab semua pertanyaan dari jamaahnya, kata dia itu menunjukkan ustadznya orang yang berilmu tinggi. Namun faktanya sepengetahuan saya ada beberapa jawaban si ustadz adalah keliru dan akhirnya di tahzir ustadz lainnya.
Sebaliknya dalam kajian2 Sunnah sering kali ustadz sebagai pematerinya menjawab "saya tidak tau", bagi orang yang berilmu akan menilai si ustadz adalah orang yang bijak dan berhati-hati dalam menjawab pertanyaan, sebaliknya bagi orang awam jawaban seperti itu menunjukkan si ustadz sedikit ilmunya.
Secara ilmu sebenarnya seseorang yang ahli dalam agama tidak harus menjawab semua pertanyaan dari orang lain agar menunjukkan ketinggian keilmuannya, justru ketika seorang yang dikenal punya ilmu tentang agama ditanya sesuatu kemudian karena memang tidak mengetahui jawaban dari pertanyaan itu kemudian dia menjawab"saya tidak tau", hal itu justru menunjukkan ketinggian ilmunya, karena jika seseorang menjawab sebuah pertanyaan tampa dasar ilmu ancamannya adalah azab neraka, seperti termuat dalam Al A'raf 33, Allah Ta’ala ancam seseorang yang berbicara agama tampa ilmu dengan dosa yang lebih besar dari syirik, waalahua'lam.
Al Khatib Al Baghdadi mengisahkan bahwa Imam Malik ditanya 48 masalah, hanya dua yang dijawab, dan 30 masalah lainnya dijawab dengan, “laa adri“ (saya tidak tahu) (Al Faqih wa Al Mutafaqqih, 2/170).
Kejadian ini tidak hanya sekali. Dirwayatkan juga oleh Ibnu Mahdi bahwa seorang lelaki bertanya kepada Imam Malik, akan tetapi tidak satupun dijawab oleh beliau hingga lelaki itu mengatakan:“Aku telah melakukan perjalanan selama 6 bulan, diutus oleh penduduk bertanya kepadamu, apa yang hendak aku katakan kepada mereka?“ Imam Malik menjawab, “katakan bahwa Malik tidak bisa menjawab!“ (Nukilan dari Al Maqalat Al Kautsari, 398).
Seorang faqih besar Madinah, Imam Madzhab yang dianut ribuan ulama hingga kini, yang madzhabnya menyebar hingga Andalusia tidak segan-segan menyatakan bahwa dirinya tidak mampu menjawab. Tidak hanya beliau, para ulama Madinah juga amat berhati-hati dalam menjawab masalah halal dan haram. Karena jika tidak mengetahui masalah, kemudian memaksakan menjawab, sama dengan menisbatkan suatu perkara yang bukan syari’at kepada syari’at. Beliau menyatakan:“Tidak ada sesuatu yang paling berat bagiku, melebihi pertanyaan seseorang tentang halal dan haram. Karena hal ini memutuskan hukum Allah. Kami mengetahui bahwa ulama di negeri kami (Madinah), jika salah satu dari mereka ditanya, sekan-akan kematian lebih baik darinya.“ (dari Maqalat Al Kautsari, 399).
Abu Hanifah, Imam Madzhab paling tua dari empat madzhab juga pernah ditanya 9 masalah, semua dijawab dengan “laa adri”. (lihat, Al Faqih wa Al Mutafaqqih, 2/171).
Alloh Ta’ala berfirman:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَاْلإِثْمَ وَالْبَغْىَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُوا بِاللهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
Katakanlah: “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ketahui (berbicara tentang Allah tanpa ilmu)” (Al-A’raf:33)
Syeikh Abdul Aziz bin Abdulloh bin Baaz rohimahulloh berkata: “Berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk perkara terbesar yang diharamkan oleh Allah, bahkan hal itu disebutkan lebih tinggi daripada kedudukan syirik. Karena di dalam ayat tersebut Alloh mengurutkan perkara-perkara yang diharamkan mulai yang paling rendah sampai yang paling tinggi.
Dan berbicara tentang Alloh tanpa ilmu meliputi: berbicara (tanpa ilmu) tentang hukum-hukumNya, syari’atNya, dan agamaNya. Termasuk berbicara tentang nama-namaNya dan sifat-sifatNya, yang hal ini lebih besar daripada berbicara (tanpa ilmu) tentang syari’atNya, dan agamaNya.” [Catatan kaki kitab At-Tanbihat Al-Lathifah ‘Ala Ma Ihtawat ‘alaihi Al-‘aqidah Al-Wasithiyah, hal: 34, tahqiq Syeikh Ali bin Hasan, penerbit:Dar Ibnil Qayyim]
Kesimpulannya ketika ada seorang ustadz, kyai, habib atau siapapun dapat menjawab semua pertanyaan dari seseorang dan tidak pernah mengatakan "saya tidak tau" mungkin itu justru menunjukkan kedangkalan ilmunya, waalahua'lam.
Referensi dr Firanda. Co, hidayatullah. Co dan muslim. Or. Id

No comments:

Post a Comment