Friday, January 26, 2018

MENYELAMI CARA BERFIKIR PELAKU BID'AH.



Oleh Siswo Kusyudhanto

Pernah suatu hari saya duduk dengan seseorang dari daerah yang jauh dengan tujuan dakwah, penampilannya keren, pakai sorban dan shalat serta dzikirnya MasyaAllah luar biasa. Ketika asyik ngobrol saya coba bertanya dengan suara pelan, "mas kalau boleh tau amalan antum ini dalilmya apa yaa, saya kok pengen tau ?", seketika wajahnya menampakkan kemarahan, dia menjawab, "jangan tanyakan soal khilafiyah mas", kemudian dia beranjak pergi.

Mungkin reaksinya beragam ketika ditanya dalilnya atas sebuah amalan kepada pelaku amalan2 yang diduga amalan bid'ah. Apalagi jika kita tanya, "Apakah Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam atau para sahabatnya pernah amalkan ini? Jika ada, di hadist mana dijelaskan perintah amalan tersebut?", pasti jawabannya beragam dan penuh kemarahan, mulai, "jaga ukhuwah jangan tanya khilafiyah", "jangan suka membid'ahkan", "jangan suka mengkafirkan " dan seterusnya. Jawaban yang bukan jawaban atas pertanyaannya.

Hal ini sebenarnya menunjukkan bahwa sejatinya pelaku kebid’ahan tau bahwa amalan mereka tidak ada dasarnya sama sekali dari Al-Quran ataupun hadist, namun mereka enggan mengakuinya karena terlanjur amalannya dianggap sebagai kebenaran. Padahal kebenaran yang hak adalah ketika amalan itu diatas dalil sahhih dari Al-Qur’an dan As Sunnah yang sahhihah.

Dalam sebuah kajian Ustadz Maududi Abdullah mengatakan, "sejatinya para pelaku amalan bid'ah secara fitrahnya tau bahwa apa yang mereka lakukan tidak ada dasarnya dari dalil syar'i, mereka tau amalan mereka tidak ada contohnya dari Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya, namun karena mereka sudah terbiasa melakukan amalan itu dan menyakinkan kedalam diri mereka bahwa amalan ini adalah amalan yang benar, dan akibatnya mereka sulit hijrah dari pemahamannya itu akhirnya untuk menutupi rasa bersalah mereka mencari dalil dari Al-Qur’an dan As Sunnah yang sahhihah agar terasa benar. Tentu ini berlawanan dengan kaidah beragama yang sudah disyariatkan, yakni dalam beragama wajib iittiba', mengikuti yang sudah diperintahkan oleh Allah dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam, bukan beramal baru kemudian mencari dalil untuk pembenaran, waallahua'lam. "

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Artinya : Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebe-naran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahan-nam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” [An-Nisaa’: 115]

No comments:

Post a Comment