Sunday, February 12, 2017

Jangan terjebak merk syariah.


Ada teman yang bekerja di bidang asuransi menawari investasi berjangka, meskipun melihat perusahaan yang mengadakan merknya ada bunyinya"syariah", namun melihat model investasi yang ditawarkan sangat meragukan, mendekati perbuatan riba maka akhirnya setelah menimbang-nimbang saya menolaknya, maklum takut terjerumus kepada riba, meskipun hasil dari investasi itu menggiurkan, namun ancaman azab akan riba lebih menakutkan.
Jadi ingat ketika seseorang jamaah bertanya kepada Ustadz Erwandi Tarmidzi mengenai hal yang mirip dengan ini, dia bertanya, "ya ustadz bagaimana hukum tawaran investasi sebuah perusahaan asuran syariah yang menawarkan investasi dengan cara menanamkan modal sebesar 500 juta kemudian diputar di pasar valas, lalu dalam jangka waktu 5 tahun uang yang dikembalikan kepada kita sebesar 800 juta, bagaimana mengenai hal ini?". Ustadz menjawab, ini jelas riba, karena akadnya adalah pinjaman dan peminjam memjamin memgembalikan dalam jumlah tertentu, dan itu pasti jumlahnya, artinya tidak ada resiko rugi atas investasi tersebut. Sejatinya uang yang diinvestasikan tersebut di pinjamkan kepada pihak lain dengan beban bunga yang lebih rendah, dan pihak perusahaan itu mengambil keuntungan dari selisih bunga dari penanam dana investasi dengan bunga peminjam dana tersebut. Jangan terkecoh dengan merk syariah, karena tidak semua yang diberi nama syariiah benar2 menerapkan kaidah syariah, seperti halnya daging babi, semisal ketika distempel halal apakah hukumnya merubah yang semula haram menjadi halal?, tentu tidak sama sekali, hukumnya daging babi tetap haram meskipun dilabeli halal.
Ibnu Qudamah mengatakan,
قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ : أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ الْمُسَلِّفَ إذَا شَرَطَ عَلَى الْمُسْتَسْلِفِ زِيَادَةً أَوْ هَدِيَّةً ، فَأَسْلَفَ عَلَى ذَلِكَ ، أَنَّ أَخْذَ الزِّيَادَةِ عَلَى ذَلِكَ رَبًّا .وَقَدْ رُوِيَ عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ، وَابْنِ عَبَّاسٍ ، وَابْنِ مَسْعُودٍ ، أَنَّهُمْ نَهَوْا عَنْ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً .وَلِأَنَّهُ عَقْدُ إرْفَاقٍ وَقُرْبَةٍ ، فَإِذَا شَرَطَ فِيهِ الزِّيَادَةَ أَخْرَجَهُ عَنْ مَوْضُوعِهِ .
“Ibnul Mundzir berkata: Para ulama sepakat bahwa jika seseorang meminjamkan uang lantas ia memberi syarat pada si peminjam uang untuk adanya tambahan atau hadiah, lalu ia pinjam dan tunaikan sedemikian rupa, maka pengambilan tambahan di sini adalah riba. Diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab, Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas’ud bahwa mereka melarang dari bentuk utang piutang yang terdapat keuntungan. Karena utang piutang termasuk akad tolong menolong dan cari pahala karena menolong yang lain. Jika menolong ‘kok’ malah cari untung, ini sudah keluar dari maksud untuk meringankan beban orang lain.” (Al Mughni, 6: 436).
Jika pemilik uang punya keinginan uangnya kembali utuh dan mesti seperti itu, tanpa sama sekali ingin menanggung kerugian, ditambah ia ingin ada tambahan, ini sama saja mencari untung dalam utang piutang.
“Setiap utang piutang yang meraup keuntungan, maka itu riba.”
Dalam kaedah fikih disebutkan,
الخراج بالضمان
“Keuntungan adalah imbalan atas kesiapan menanggung kerugian”.
Maksud kaedah ini ialah orang yang berhak mendapatkan keuntungan ialah orang yang punya kewajiban menanggung kerugian -jika hal itu terjadi-. Keuntungan ini menjadi milik orang yang berani menanggung kerugian karena jika barang tersebut suatu waktu rusak, maka dialah yang merugi. Jika kerugian berani ditanggung, maka keuntungan menjadi miliknya.
Asal kaedah di atas berasal dari hadits berikut,
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَجُلًا ابْتَاعَ غُلَامًا، فَأَقَامَ عِنْدَهُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يُقِيمَ، ثُمَّ وَجَدَ بِهِ عَيْبًا، فَخَاصَمَهُ إِلَى النَّبِيِّ صلّى الله عليه وسلّم، فَرَدَّهُ عَلَيْهِ، فَقَالَ الرَّجُلُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ اسْتَغَلَّ غُلَامِي؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلّى الله عليه وسلّم: الْخَرَاجُ بِالضَّمَانِ
“Dari sahabat ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya seorang lelaki membeli seorang budak laki-laki. Kemudian, budak tersebut tinggal bersamanya selama beberapa waktu. Suatu hari sang pembeli mendapatkan adanya cacat pada budak tersebut. Kemudian, pembeli mengadukan penjual budak kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Nabi-pun memutuskan agar budak tersebut dikembalikan. Maka penjual berkata, ‘Ya Rasulullah! Sungguh ia telah mempekerjakan budakku?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Keuntungan adalah imbalan atas kerugian.'” (HR. Abu Daud no. 3510, An Nasai no. 4490, Tirmidzi no. 1285, Ibnu Majah no. 2243 dan Ahmad 6: 237. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

No comments:

Post a Comment