Monday, September 5, 2016

Ngaji Alquran terjemahan?


Kadang ada hinaan yang ditujukan oleh sekelompok orang kepada jamaah manhaj salaf, dengan menyebut "ngaji kitab terjemahan", jadi ingat seorang teman yang melarang teman yang lain membaca tafsir Ibnu Katsir terjemahan, dengan alasan tidak punya ilmu nahwu dan sorof, SubhanAllah, menurut saya ini aneh, kalau harus memiliki ilmu nahwu dan sorof hanya untuk membaca tafsir Ibnu Katsir terjemahan, lalu siapa yang punya kesempatan untuk membacanya? Karena ilmu dialektika arab itu rumit dan perlu waktu belajar yang cukup lama untuk mahir dalam ilmu nahwu dan sorof.
Menurut saya itu adalah pemahaman yang membodohkan umat ini, membuat aturan agar orang takut mempelajari Alquran, akhirnya hanya sedikit orang mengetahui kebenaran didalam Alquran. Karena tujuan diterjemahkan adalah memudahkan umat muslim Indonesia memahami kandungan Alquran, hanya dengan memahaminya maka umat muslim diharapkan dapat mendapatkan ilmu yang kelak diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, dengan demikianlah agama ini terjaga dari kepunahan ditengah jaman hedonisme, yang penuh pemujaan kepada syahwat dunia.
Ketahuilah bahwa dulu dijaman penjajahan Belanda, pihak penguasa Belanda melarang Alquran di terjemahkan kedalam bahasa Indonesia, hal itu adalah usaha pihak Belanda agar kebenaran yang terkandung dalam Alquran terhalangi sampai kepada umat muslim di Indonesia, agar selamanya umat muslim di negri ini dalam kebodohan. Jika sudah kebodohan menjadi budaya rakyat Indonesia maka dapat dimanipulasi demi kepentingan Belanda.
Salah satu kisah yang menggambarkan keadaan dijaman penjajahan adalah yang termuat dalam buku "Habis gelap terbiltah terang" dari RA. Kartini.
Salah satunya tercatat dalam surat bertanggal 6 November 1899 yang dikutip dari buku bertajuk Habis Gelap Terbitlah Terang.
"Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya?" tulis Kartini dalam suratnya.
"Alquran terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun agar bisa dipahami setiap Muslim. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Di sini, orang belajar Alquran tapi tidak memahami apa yang dibaca."
"Aku pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghapal bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya. Aku pikir, tidak jadi orang soleh pun tidak apa-apa, asalkan jadi orang baik hati. Bukankah begitu Stella?"
Kegelisahan Kartini atas keputusan ulama melarang penerjemahan Alquran berlanjut sampai beberapa tahun kemudian. Dia lalu mengirimkan surat lagi kepada istri Direktur Pendidikan Agama dan Industri Hindia Belanda Nyonya Abendanon.
Dalam surat tertanggal 15 Agustus 1902 dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang itu, dia menuliskan tak mau lagi mempelajari Alquran.
"Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlu dan manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Alquran, belajar menghapal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya," tulis dia.
"Jangan-jangan, guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepada aku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa. Kitab ini terlalu suci, sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya," kata Kartini.
Maka sejatinya menghalangi seorang muslim mempelajari Alquran dengan alasan mengada-ada, tampa alasan syar'i, sejatinya dalam diri mereka ada sifat imperialisme, sifat penjajah, agar selamanya umat dalam kebodohan, dan ilmu agama didominasi oleh pemilik-pemilik ilmu, dari sanalah mereka mendapatkan keuntungan dari ilmu yang dimilikinya.
Semoga kita punya semangat mencari ilmu, karena kita ingin merdeka dari kebodohan.
Waallahua'lam.

No comments:

Post a Comment