Friday, September 23, 2016

Kenapa orang NU tidak mau menggunakan Tafsir Ibnu Katsir?, padahal beliau jelas madhzabnya Syafiiyah dan kitab tafsir yang paling banyak digunakan rujukan di dunia?.


ALASAN MEREKA MENGGUNAKAN TAFSIR JALALAIN
Tafsir Jalalain merupakan tafsir yang menggunakan bentuk bi al-ra’y. Karena dalam menafsirkan ayat demi ayat menggunakan hasil pemikiran atau ijtihad para mufasir (meskipun tidak menafikan riwayat). Sebagai contoh ketika al-Jalalain menafsirkan penggalan ayat berikut ini:
(ولا تتبدلواالخبيث) الحرام (بالطيب) الحلال أى تأخذوه بدله كما تفعلون من أخذ الجيد من مال اليتيم وجعل الردئ من مالكم مكانه.
Di sini kelihatan dengan jelas bahwa ketika menafsirkan penggalan ayat tersebut al-Suyuthi murni menggunakan pemikirannya tanpa menyebut riwayat. Jika kita bandingkan dengan tafsir Ibnu katsir berikut ini, akan lebih jelas perbedaannya.
(ولا تتبدلواالخبيث بالطيب) قال سفيان الثورى عن أبى صالح :لا تعجل بالرزق الحرام قبل أن يأتيك الرزق الحلال الذى قدر لك وقال سعيد بن جبير:لا تتبدلواالحرام من أموال الناس بالحلال من أموالكم,يقول :لاتبدلوا أموالكم الحلال وتأكلوا أموالهم الحرامز.وقال سعيد بن المسيب والزهرى:ولا تعط مهزولا ولا تأخذ
سمينا. وقال إبراهيم والنخعى والضحاك:لا تعط زيفا وتأخذ جيدا.وقال السدى: كان أحدهم يأخذ الشاة السمينة من غنم اليتيم, ويجعل مكانها الشاة المهزولة ويقول: شاة بشاة, ويأخذ الدرهم الجيد ويطرح مكانه الزيف ويقول درهم بدرهم
Di sini Ibnu Katsir menggunakan bentuk bi al-ma’tsur. Beliau ketika menafsirkan penggalan ayat tersebut langsung merujuk riwayat dari al-Tsauri, Sa’id bin Jubair, Sa’id bin al-Musayyab dan lain-lain. Sehingga seakan-akan beliau tidak punya pendapat sendiri tentang hal tersebut.
Hal inilah yang membedakan antara bentuk bi al-ma’tsur dengan bentuk bi al-ra’y. Tafsir yang menggunakan bentuk bi al-ma’tsur sangat tergantung dengan riwayat. Tafsir ini akan tetap ada selama riwayat masih ada. Berbeda dengan tafsir bi al-ra’y yang akan selalu berkembang dengan perkembangan zaman.
Adapun mengenai metode yang digunakan tafsir Jalalain menggunakan metode Ijmali (global). Sebagaimana diungkapkan oleh al-Suyuthi bahwa beliau menafsirkan sesuai dengan metode yang dipakai oleh al-Mahalli yakni berangkat dari qoul yang kuat, I’rab lafadz yang dibutuhkan saja, perhatian terhadap Qiraat yang berbeda dengan ungkapan yang simpel dan padat serta meninggalkan ungkapan-ungkapan bertele-tele dan tidak perlu.
Mufasir yang menggunakan metode ini biasanya menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas dengan bahasa populer dan mudah dimengerti. Ia akan menafsirkan al-Qur’an secara sistematis dari awal hingga akhir. Di samping itu, penyajiannya diupayakan tidak terlalu jauh dari gaya (uslub) bahasa al-Qur’an, sehingga penbengar dan pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar al-Qur’an, padahal yang didengarnya adalah tafsirnya.
Berbeda dengan metode yang digunakan oleh Ibnu Katsir sebagaimana terlihat dalam contoh. Dari contoh tersebut Ibnu Katsir menggunakan metode Tahlili (analitis). Perbedaannya terletak pada terget yang ingin dicapai. Jika yang diinginkan adalah hanya untuk mengetahui makna kosa kata, tidak memerlukan uraian yang luas, maka cukup menggunakan metode Ijmali seperti Tafsir Jalalain. Tetapi jika target yang ingin dicapai adalah suatu penafsiran yang luas tetapi tidak menuntaskan pemahaman yang terkandung dalam ayat secara komprehensif, maka metode yang cocok adalah metode Tahlili (analitis), sebagaimana tafsirnya Ibnu Katsir.
Corak penafsiran ialah suatu warna, arah, atau kecenderungan pemikiran atau ide tertentu yang mendominasi sebuah karya tafsir. Jadi kata kuncinya adalah terletak pada dominan atau tidaknya sebuah pemikiran ide tersebut. Bila sebuah kitab tafsir mengandung banyak corak (minimal tiga corak) dan kesemuanya tidak ada yang dominan karena porsinya sama, maka inilah yang disebut corak umum.
Adapun tafsir Jalalain karena uraiannya sangat singkat dan padat dan tidak tampak gagasan ide-ide atau konsep-konsep yang menonjol dari mufasirnya, maka jelas sekali sulit untuk memberikan label pemikiran tertentu terhadap coraknya.
Karena itu pemakaian corak umum baginya terasa sudah tepat kerena memang begitulah yang dijumpai dalam tafsiran yang diberikan dalam kitab tersebut. Itu artinya bahwa dalam tafsirnya tidak didominasi oleh pemikiran-pemikiran tertentu melainkan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan kandungan maknanya.
KENAPA TAFSIR IBNU KATSIR YANG TERBAIK?
Tafsir Ibnu Katsir :
· Beliau adalah Abul Fida’ Isma’il Bin Katsir Ad Dimasyqi, wafat pada tahun 774 hijriyyah.
· Tafsirnya dinamakan “Tafsir Al Qur’an Al ‘Adzim”
· Imam As Suyuthi Rahimahullah berkata tentang kitab tafsir ini, "Ttidak ada orang yang hidup di zamannya mengarang sepadan dengan Tafsirnya." (Tadzkiratul Huffadz, hal. 534)
· Tafsirnya tergolong tafsir bil ma’tsur, maksudnya adalah mentafsirkan ayat-ayat al Qur’an dengan ayat yang lain atau dengan hadits Nabi, dan tingkat kemasyhuran tafsirnya menurut Ulama mutakhir adalah setelah kemasyhuran Tafsir At Thabari.
· Redaksinya sangat mudah dipahami dengan tata bahasa yang baik, tidak terlalu panjang dan membosankan atau terlalu pendek dan menyulitkan pemahaman.
· Metode dalam penulisan tafsirnya: Beliau menafsirkan ayat dengan ayat, dan menyebutkan ayat yang berkaitan dan sesuai dengan ayat yang sedang ditafsirkan, kemudian menghadirkan hadits-hadits yang bersinggungan dengan tema ayat, sebagaimana beliau juga meletakkan sanad-sanad hadits tersebut khususnya apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya. Beliau termasuk salah seorang yang hafal Musnad (Ahmad). Sering kali beliau juga berbicara tentang kesahihan dan kelemahan hadits, dan ini merupakan salah satu diantara keistimewaan yang luar biasa dalam tafsirnya. Kemudian beliau juga menyebutkan ucapan para salafus Shalih dari kalangan sahabat maupun Tabi’in, dan menyelaraskan antar pendapat. Di samping itu beliau juga menghindari khilaf yang menyimpang. Muhammad bin Ja’far Al Kattani mengungkapkan kekagumannya pada pentafsiran beliau, "Sungguh tafsir beliau sarat dengan Hadits-hadits dan Atsar disertai sanadnya masing-masing dengan disebutkan tingkat kesahihan dan kelemahan para perawinya." (Ar-Risalah Al-Mustathrifah, hal. 195).
· Beliau juga memberi perhatian pada aspek Syar’i dari riwayat-riwayat Israiliyyah, yang sebagiannya diletakkan pada ayat-ayat tertentu saat menafsirkan.

dikutip dr taklim dpc NU dan quransunnah.blog

No comments:

Post a Comment