Monday, September 24, 2018

KENAPA UNTUK URUSAN AKHIRAT KITA JUSTRU TIDAK HATI-HATI


Oleh Siswo Khusyudhanto
Ada teman berkisah ada temannya yang bekerja disebuah dealer mobil sedang menghadapi masalah, pada suatu hari dia mengantar mobil kerumah konsumen, rupanya ini konsumen tidak seperti konsumen lainnya, kebanyakan orang ketika menerima mobil baru saking gembiranya menerima mobil baru yang sudah diinginkannya sejak lama, dia tidak meneliti mobil yang diterimanya dengan detail namun langsung menandatangani surat serah terima mobil. Konsumen satu ini ternyata orang yang sangat teliti, diceknya semua bagian mobil sampai hampir satu jam, dan ditemukan olehnya di bagian body luar mobil ada goresan sepanjang lima centimeter, akibatnya si konsumen tidak mau menandatangani surat serah terima, dia minta ganti mobil serupa yang lain dengan keadaan mulus, tampa cacat sedikitpun. Tentu ini bikin si salesman mobil pusing, karena si konsumen tidak mau goresan itu diservis, dan malah minta ganti mobil baru sementara mobil itu sudah atas nama si konsumen. Dan permintaan konsumen seperti itu dibenarkan secara aturan, konsumen diberi hak untuk komplain dan minta ganti yang kondisi lebih baik, artinya konsumen diberi hak untuk nyinyir.
Dengar cerita itu saya jadi ingat dulu ketemu seorang kyai, saya bertanya, "soal amalan, siapa yang amalkan pertama kali pak kyai?, Apakah Nabi dan para sahabat pernah amalkan ini? Kalau ada di hadist mana dan kitab mana?, Apakah para imam mahzab seperti Imam Syafi'i pernah amalkan ini?". Justru pertanyaan saya dijawab dengan nada tinggi, " Udah gak usah nyinyir, kerjain aja, ikuti pendapat para kyai dan habib, dan gak usah tanya2 lagi!".
Dari kedua cerita ini jadi dapat menyimpulkan bahwa ketika urusan dunia yang kenikmatannya tidak ada seberapa kita sudah menjadi hal biasa untuk nyinyir dan hati-hati, namun kenapa untuk urusan akhirat yang merupakan urusan amat sangat serius justru malah serampangan, tidak boleh nyinyir, dan hanya modal ikut2an?.
Seharusnya kita lebih nyinyir soal akhirat, karena akhirat adalah urusan yang sangat serius, ketika kita belum mengetahui dan mengerti wajib kita pelajari dasarnya apa?, dalilnya apa?, siapa yang amalkan ini pertama kali?, Bagaimana sejarah amalan ini?.
Semoga kita jadi orang yang serius dalam hal akhirat, Aamiin.
Allâh Ta'ala berfirman :
وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَعِبٌ وَلَهْوٌ ۖ وَلَلدَّارُ الْآخِرَةُ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ ۗ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
Dan kehidupan dunia ini tiada lain hanyalah main-main dan senda gurau belaka. dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu mau memahaminya? [Al-An’âm/6:32]
Juga firman-Nya
وَمَا أُوتِيتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَزِينَتُهَا ۚ وَمَا عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
Dan apa saja yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah kenikmatan hidup duniawi dan perhiasannya; sedangkan apa yang di sisi Allâh itu lebih baik dan lebih kekal. Maka apakah kamu tidak mau memahaminya? [Al-Qhashas/28:60]
Juga firman-Nya:
اللَّهُ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ ۚ وَفَرِحُوا بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا مَتَاعٌ
Allâh meluaskan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. Mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit). [Ar-Ra’du/13:26]
Juga firman-Nya:
أَرَضِيتُمْ بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا مِنَ الْآخِرَةِ ۚ فَمَا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا قَلِيلٌ
Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit. [At-Taubah/9:38]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:
بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا ﴿١٦﴾ وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ
Tetapi kamu (orang-orang kafir) lebih memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal. [Al-A’lâ/87:16-17]
Sumber Referensi,"Relakah kehidupan dunia untuk Akhirat?", Oleh Syaikh Sholih Budair di almanhaj.or.id

No comments:

Post a Comment