Monday, July 23, 2018

PENTINGNYA ILMU SEBELUM BERAMAL


Oleh Siswo Kusyudhanto
Beberapa hari yang lalu ada teman yang bergerak dalam gerakan pemberantasan riba, menanyakan perihal aksi menjual makanan berupa nasi ayam kepada masyarakat, dan saat membayar makanan nominalnya tergantung si pembeli, jika diantara pembeli tidak mampu membayar karena keadaan ekonominya maka akan digratiskan, alias tidak bayar, langsung teringat dengan kajian Ustadz Erwandi Tarmidzi mengenai jual beli gharar , yakni jual beli untung2an atau spekulasi, tidak jelas antara harga dan barangnya. Lalu saya katakan kepadanya bahwa jual beli seperti ini setau saya masuk kedalam jenis akad jual beli gharar berat yang dilarang para ulama.
Lalu saya usulkan agar merubah akadnya, mengikuti seperti yang dilakukan seorang muallaf di Jakarta, karena dia ingin membantu para fakir miskin maka dia menjual nasi kuning dengan harga sangat murah, yakni cuma 3 ribu rupiah, padahal mungkin rata-rata nasi serupa di Jakarta dijual seharga 10 ribu sampai 15 ribu rupiah, dengan demikian banyak para tunawisma dan fakir miskin terbantu dengan nasi murah ini.
Kemudian usulan saya disampaikan kepada kelompok gerakan anti riba itu, dan alhamdulillah usulan saya diterima, mereka merubah akadnya menjadi menjual nasi lebih murah dari kebanyakan penjual nasi setempat.
Jadi makin memahami pentingnya berilmu sebelum beramal, dan membuktikan bahwa niat baik tampa ilmu yang cukup menjadikan mudah bagi kita terjerumus dalam kesalahan bertindak dan bersikap.
Waalahua'lam.
-----
JUAL BELI GHARAR
Oleh
Ustadz Abu Asma Kholid Syamhudi di web almanhaj.or.id
DEFINISI GHARAR
Menurut bahasa Arab, makna al-gharar adalah, al-khathr (pertaruhan) [1]. Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan, al-gharar adalah yang tidak jelas hasilnya (majhul al-‘aqibah) [2]. Sedangkan menurut Syaikh As-Sa’di, al-gharar adalah al-mukhatharah (pertaruhan) dan al-jahalah (ketidak jelasan). Perihal ini masuk dalam kategori perjudian [3].
Sehingga , dari penjelasan ini, dapat diambil pengertian, yang dimaksud jual beli gharar adalah, semua jual beli yang mengandung ketidakjelasan ; pertaruhan, atau perjudian. [4]
HUKUM GHARAR
Dalam syari’at Islam, jual beli gharar ini terlarang. Dengan dasar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah yang berbunyi:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli al-hashah dan jual beli gharar” [5]
Dalam sistem jual beli gharar ini terdapat unsur memakan harta orang lain dengan cara batil. Padahal Allah melarang memakan harta orang lain dengan cara batil sebagaimana tersebut dalam firmanNya.
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” [Al-Baqarah / 2 : 188]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu ; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” [An-Nisaa /4 : 29]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan, dasar pelarangan jual beli gharar ini adalah larangan Allah dalam Al-Qur’an, yaitu (larangan) memakan harta orang dengan batil. Begitu pula dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau melarang jual beli gharar ini. [6]. Pelarangan ini juga dikuatkan dengan pengharaman judi, sebagaimana ada dalam firman Allah.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” [Al-Maidah / 5 : 90]
Sedangkan jula-beli gharar, menurut keterangan Syaikh As-Sa’di, termasuk dalam katagori perjudian. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sendiri menyatakan, semua jual beli gharar, seperti menjual burung di udara, onta dan budak yang kabur, buah-buahan sebelum tampak buahnya, dan jual beli al-hashaah, seluruhnya termasuk perjudian yang diharamkan Allah di dalam Al-Qur’an. [7]
IKMAH LARANGAN JUAL BELI GHARAR
Diantara hikmah larangan julan beli ini adalah, karena nampak adanya pertaruhan dan menimbulkan sikap permusuhan pada orang yang dirugikan. Yakni bisa menimbulkan kerugian yang besar kepada pihak lain. [8]. Larangan ini juga mengandung maksud untuk menjaga harta agar tidak hilang dan menghilangkan sikap permusuhan yang terjadi pada orang akibat jenis jual beli ini.
PENTINGNYA MENGENAL KAIDAH GHARAR
Dalam masalah jual beli, mengenal kaidah gharar sangatlah penting, karena banyak permasalahan jual-beli yang bersumber dari ketidak jelasan dan adanya unsur taruhan di dalamnya. Imam Nawawi mengatakan : “Larangan jual beli gharar merupakan pokok penting dari kitab jual-beli. Oleh karena itu Imam Muslim menempatkannya di depan. Permasalahan yang masuk dalam jual-beli jenis ini sangat banyak, tidak terhitung” [9]
Footnote
[1]. Lihat Al-Mu’jam Al-Wasith, hal. 648
[2]. Majmu Fatawa, 29/22
[3]. Bahjah Qulub Al-Abrar wa Qurratu Uyuuni Al-Akhyaar Fi Syarhi Jawaami Al-Akhbaar, Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Tahqiq Asyraf Abdulmaqshud, Cet. II, Th 1992M, Dar Al-Jail. Hal.164
[4]. Al-Waaji Fi Fiqhu Sunnah wa kitab Al-Aziz, Abdul Azhim Badawi, Cet. I, Th.1416H, Dar Ibnu Rajab, Hal. 332
[5]. HR Muslim, Kitab Al-Buyu, Bab : Buthlaan Bai Al-Hashah wal Bai Alladzi Fihi Gharar, 1513
[6]. Majmu Fatawa, 29/22
[7]. Mukhtashar Al-Fatawa Al-Mishriyyah, Ibnu Taimiyyah, Tahqiq Abdulmajid Sulaim, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, hal. 342
[8]. Bahjah, Op.Cit, 165
[9]. Syarah Shahih Muslim, 10/156

No comments:

Post a Comment