Oleh Siswo Kusyudhanto
Kalau bergaul dengan teman-teman yang mahasiswa, kadang diantara mereka sudah menikah, dan menikahnya katanya secara siri, asalnya dari kata nikah Siir atau nikah diam-diam, nikah dibawah tangan, dan istilah serupa, dan kalau kita tanya saat menikah dulu bagaimana tata cara nya, jawabannya sungguh kadang bikin kaget dan sekaligus prihatin. Bagaimana tidak ada diantara mereka menikah tapi tampa memenuhi rukun-rukun nikah syar'i seperti tidak adanya wali nikah pihak perempuan, padahal ini syarat sahnya sebuah akad nikah, dan jika tidak sah dalam akad nikah tentu apa yang terjadi diantara mereka dapat masuk dalam kategori zina, subhanallah, waalahua'lam.
Dalam sebuah kajian seorang ustadz menyebutkan, " perbedaan nikah siri dan nikah resmi/negara adalah di surat nikah saja, jika nikah resmi dicatat dan diakui negara, dan akan terbit surat nikah bagi pasangan yang menikah, sementara nikah siri tidak mendapatkan surat nikah, itu saja perbedaan nya. Sementara rukun-rukun nikah lainnya hukumnya sama yakni wajib terpenuhi.
Kadang kita temui ada status pernikahan siri dimana mereka melakukan akad nikah sementara rukun nikah seperti adanya wali bagi pihak perempuan tidak terpenuhi, padahal ini salah satu syarat sahnya nikah.
Tentu status akad nikahnya tidak sah jika ini terjadi, dan kemungkinan apa yang terjadi diantara mereka adalah zina, dan menjadi dosa selama mereka dalam akad nikah yang cacat seperti ini. Waalahua'lam."
Kadang kita temui ada status pernikahan siri dimana mereka melakukan akad nikah sementara rukun nikah seperti adanya wali bagi pihak perempuan tidak terpenuhi, padahal ini salah satu syarat sahnya nikah.
Tentu status akad nikahnya tidak sah jika ini terjadi, dan kemungkinan apa yang terjadi diantara mereka adalah zina, dan menjadi dosa selama mereka dalam akad nikah yang cacat seperti ini. Waalahua'lam."
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak menjelaskan hal ini, Diantaranya beliau bersabda :
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ.
“Tidak sah nikah kecuali dengan keberadaan wali.”
[HR. At-Tirmidzi (no. 1101) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2085) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1881) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 19024) al-Hakim (I/170) dan ia menshahihkannya, serta dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih at-Tirmidzi (no. 879), dan lihat al-Irwaa’ (VI/235).]
[HR. At-Tirmidzi (no. 1101) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2085) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1881) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 19024) al-Hakim (I/170) dan ia menshahihkannya, serta dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih at-Tirmidzi (no. 879), dan lihat al-Irwaa’ (VI/235).]
Dalam lafazh lain:
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ، وَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ.
“Tidak sah nikah kecuali dengan keberadaan wali, dan penguasa adalah wali bagi siapa (wanita) yang tidak mempunyai wali.”
[HR. At-Tirmidzi (no. 1102) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2083) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1881) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 19024), ad-Darimi (no. 2184) kitab an-Nikaah, ia mensahihkannya, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiihul Jaami’ (VI/203) dan al-Irwaa’ (VI/238).]
[HR. At-Tirmidzi (no. 1102) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2083) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1881) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 19024), ad-Darimi (no. 2184) kitab an-Nikaah, ia mensahihkannya, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiihul Jaami’ (VI/203) dan al-Irwaa’ (VI/238).]
Dan dalam lafazh lain:
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ، وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ.
“Tidak sah nikah kecuali dengan keberadaan wali dan dua saksi yang adil.”
[HR. ‘Abdurrazzaq (VII/215), dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam al-Irwaa’ (no. 1858).]
[HR. ‘Abdurrazzaq (VII/215), dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam al-Irwaa’ (no. 1858).]
Ash-Shan’ani rahimahullah berkata: “Hadits ini menunjukkan bahwa pernikahan itu tidak sah kecuali dengan keberadaan wali, karena prinsip dalam penafian ialah menafikan keabsahan, bukan kesem-purnaan.”
[Subulus Salaam (III/117).]
[Subulus Salaam (III/117).]
Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا، وَإِنِ اشْتَجَرُوْا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهَا.
“Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya, maka pernikahannya bathil, pernikahannya bathil, pernikahannya bathil. Jika seseorang menggaulinya, maka wanita itu berhak mendapatkan mahar, sehingga ia dihalalkan terhadap kemaluannya. Jika mereka terlunta-lunta (tidak mempunyai wali), maka penguasa adalah wali bagi siapa (wanita) yang tidak mempunyai wali.”
[HR. At-Tirmidzi (no. 1102) kitab an-Nikaah, dan ia mengatakan: “Hadits hasan,” Abu Dawud (no. 2083) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1879) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 23851, 24798), ad-Darimi (no. 2184) kitab an-Nikaah, dan dishahih-kan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih Ibni Maajah (no. 1524), Shahiih at-Tirmidzi (no. 880), dan Irwaa-ul Ghaliil (no. 1840).]
[HR. At-Tirmidzi (no. 1102) kitab an-Nikaah, dan ia mengatakan: “Hadits hasan,” Abu Dawud (no. 2083) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1879) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 23851, 24798), ad-Darimi (no. 2184) kitab an-Nikaah, dan dishahih-kan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih Ibni Maajah (no. 1524), Shahiih at-Tirmidzi (no. 880), dan Irwaa-ul Ghaliil (no. 1840).]
Sumber Referensi;
"NIKAH TIDAK SAH KECUALI DENGAN KEBERADAAN WALI(1)
Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq
Di web Almanhaj.or.id
"NIKAH TIDAK SAH KECUALI DENGAN KEBERADAAN WALI(1)
Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq
Di web Almanhaj.or.id
No comments:
Post a Comment