Karya Ustadz Armen Halim Naro Rahimahullah
------------
Assalamu'alaikum,
Segala puji Ibu panjatkan kehadirat Allah ta'ala yang telah memudahkan
Ibu untuk beribadah kepada-Nya. Shalawat serta salam Ibu sampaikan
kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, keluarga dan para
sahabatnya. Amin.
Wahai anakku,
Surat ini datang dari Ibumu yang selalu dirundung sengsara. Setelah
berpikir panjang Ibu mencoba untuk menulis dan menggoreskan pena,
sekalipun keraguan dan rasa malu menyelimuti diri. Setiap kali
menulis, setiap kali itu pula gores tulisan terhalang oleh tangis, dan
setiap kali menitikkan air mata setiap itu pula hati terluka.
Wahai anakku!
Sepanjang masa yang telah engkau lewati, kulihat engkau telah menjadi
laki-laki dewasa, laki-laki yang cerdas dan bijak! Karenanya engkau
pantas membaca tulisan ini, sekalipun nantinya engkau remas kertas ini
lalu engkau merobeknya, sebagaimana sebelumnya engkau telah remas hati
dan telah engkau robek pula perasaanku.
Wahai anakku.
25 tahun telah berlalu, dan tahun-tahun itu merupakan tahun
kebahagiaan dalam kehidupanku. Suatu ketika dokter datang menyampaikan
kabar tentang kehamilanku dan semua ibu sangat mengetahui arti kalimat
tersebut. Bercampur rasa gembira dan bahagia dalam diri ini
sebagaimana ia adalah awal mula dari perubahan fisik dan emosi.
Semenjak kabar gembira tersebut aku membawamu 9 bulan. Tidur, berdiri,
makan dan bernafas dalam kesulitan. Akan tetapi itu semua tidak
mengurangi cinta dan kasih sayangku kepadamu, bahkan ia tumbuh bersama
berjalannya waktu.
Aku mengandungmu, wahai anakku!
Pada kondisi lemah di atas lemah, bersamaan dengan itu aku begitu
gembira tatkala merasakan melihat terjangan kakimu dan balikan badanmu
di perutku. Aku merasa puas setiap aku menimbang diriku, karena
semakin hari semakin bertambah berat perutku, berarti engkau sehat wal
afiat dalam rahimku. Penderitaan yang berkepanjangan menderaku,
sampailah saat itu, ketika fajar pada malam itu, yang aku tidak dapat
tidur dan memejamkan mataku barang sekejap pun. Aku merasakan sakit
yang tidak tertahankan dan rasa takut yang tidak bisa dilukiskan.
Sakit itu terus berlanjut sehingga membuatku tidak dapat lagi
menangis. Sebanyak itu pula aku melihat kematian menari-nari di
pelupuk mataku, hingga tibalah waktunya engkau keluar ke dunia. Engkau
pun lahir. Tangisku bercampur dengan tangismu, air mata kebahagiaan.
Dengan semua itu, sirna semua keletihan dan kesedihan, hilang semua
sakit dan penderitaan, bahkan kasihku padamu semakin bertambah dengan
bertambah kuatnya sakit. Aku raih dirimu sebelum aku meraih minuman,
aku peluk cium dirimu sebelum meneguk satu tetes air ke
kerongkonganku.
Wahai anakku.
Telah berlalu tahun dari usiamu, aku membawamu dengan hatiku dan
memandikanmu dengan kedua tangan kasih sayangku. Saripati hidupku
kuberikan kepadamu. Aku tidak tidur demi tidurmu, berletih demi
kebahagiaanmu. Harapanku pada setiap harinya, agar aku melihat
senyumanmu. Kebahagiaanku setiap saat adalah celotehmu dalam meminta
sesuatu, agar aku berbuat sesuatu untukmu. itulah kebahagiaanku!
Kemudian, berlalulah waktu. Hari berganti hari, bulan berganti bulan
dan tahun berganti tahun. Selama itu pula aku setia menjadi pelayanmu
yang tidak pernah lalai, menjadi dayangmu yang tidak pernah berhenti,
dan menjadi pekerjamu yang tidak pernah mengenal lelah serta
mendo'akan selalu kebaikan dan taufiq untukmu.
Aku selalu memperhatikan dirimu hari demi hari hingga engkau menjadi
dewasa. Badanmu yang tegap, ototmu yang kekar, kumis dan jambang tipis
yang telah menghiasi wajahmu, telah menambah ketampananmu. Tatkala itu
aku mulai melirik ke kiri dan ke kanan demi mencari pasangan hidupmu.
Semakin dekat hari perkawinanmu, semakin dekat pula hari kepergianmu.
saat itu pula hatiku mulai serasa teriris-iris, air mataku mengalir,
entah apa rasanya hati ini. Bahagia telah bercampur dengan duka,
tangis telah bercampur pula dengan tawa. Bahagia karena engkau
mendapatkan pasangan dan sedih karena engkau pelipur hatiku akan
berpisah denganku.
Waktu berlalu seakan-akan aku menyeretnya dengan berat. Kiranya
setelah perkawinan itu aku tidak lagi mengenal dirimu, senyummu yang
selama ini menjadi pelipur duka dan kesedihan, sekarang telah sirna
bagaikan matahari yang ditutupi oleh kegelapan malam. Tawamu yang
selama ini kujadikan buluh perindu, sekarang telah tenggelam seperti
batu yang dijatuhkan ke dalam kolam yang hening, dengan dedaunan yang
berguguran. Aku benar-benar tidak mengenalmu lagi karena engkau telah
melupakanku dan melupakan hakku.
Terasa lama hari-hari yang kulewati hanya untuk ingin melihat rupamu.
Detik demi detik kuhitung demi mendengarkan suaramu. Akan tetapi
penantian kurasakan sangat panjang. Aku selalu berdiri di pintu hanya
untuk melihat dan menanti kedatanganmu. Setiap kali berderit pintu aku
manyangka bahwa engkaulah orang yang datang itu. Setiap kali telepon
berdering aku merasa bahwa engkaulah yang menelepon. Setiap suara
kendaraan yang lewat aku merasa bahwa engkaulah yang datang.
Akan tetapi, semua itu tidak ada. Penantianku sia-sia dan harapanku
hancur berkeping, yang ada hanya keputusasaan. Yang tersisa hanyalah
kesedihan dari semua keletihan yang selama ini kurasakan. Sambil
menangisi diri dan nasib yang memang telah ditakdirkan oleh-Nya.
Anakku.
Ibumu ini tidaklah meminta banyak, dan tidaklah menagih kepadamu yang
bukan-bukan. Yang Ibu pinta, jadikan ibumu sebagai sahabat dalam
kehidupanmu. Jadikanlah ibumu yang malang ini sebagai pembantu di
rumahmu, agar bisa juga aku menatap wajahmu, agar Ibu teringat pula
dengan hari-hari bahagia masa kecilmu.
Dan Ibu memohon kepadamu, Nak!
Janganlah engkau memasang jerat permusuhan denganku, jangan engkau
buang wajahmu ketika Ibu hendak memandang wajahmu!! Yang Ibu tagih
kepadamu, jadikanlah rumah ibumu, salah satu tempat persinggahanmu,
agar engkau dapat sekali-kali singgah ke sana sekalipun hanya satu
detik. Jangan jadikan ia sebagai tempat sampah yang tidak pernah
engkau kunjungi, atau sekiranya terpaksa engkau datangi sambil engkau
tutup hidungmu dan engkaupun berlalu pergi.
Anakku, telah bungkuk pula punggungku. Bergemetar tanganku, karena
badanku telah dimakan oleh usia dan digerogoti oleh penyakit. Berdiri
seharusnya dipapah, dudukpun seharusnya dibopong, sekalipun begitu
cintaku kepadamu masih seperti dulu. Masih seperti lautan yang tidak
pernah kering. Masih seperti angin yang tidak pernah berhenti.
Sekiranya engkau dimuliakan satu hari saja oleh seseorang, niscaya
engkau akan balas kebaikannya dengan kebaikan setimpal. Sedangkan
kepada ibumu. Mana balas budimu, nak!? Mana balasan baikmu! Bukankah
air susu seharusnya dibalas dengan air susu serupa?! Akan tetapi
kenapa nak! Susu yang Ibu berikan engkau balas dengan tuba. Bukankah
Allah ta'ala telah berfirman, "Bukankah balasan kebaikan kecuali
dengan kebaikan pula?!" (QS. Ar Rahman: 60) Sampai begitu keraskah
hatimu, dan sudah begitu jauhkah dirimu?! Setelah berlalunya hari dan
berselangnya waktu?!
Wahai anakku, setiap kali aku mendengar bahwa engkau bahagia dengan
hidupmu, setiap itu pula bertambah kebahagiaanku. Bagaimana tidak,
engkau adalah buah dari kedua tanganku, engkaulah hasil dari
keletihanku. Engkaulah laba dari semua usahaku! Kiranya dosa apa yang
telah kuperbuat sehingga engkau jadikan diriku musuh bebuyutanmu?!
Pernahkah aku berbuat khilaf dalam salah satu waktu selama bergaul
denganmu, atau pernahkah aku berbuat lalai dalam melayanimu?
Terus, jika tidak demikian, sulitkah bagimu menjadikan statusku
sebagai budak dan pembantu yang paling hina dari sekian banyak
pembantumu. Semua mereka telah mendapatkan upahnya!? Mana upah yang
layak untukku wahai anakku!
Dapatkah engkau berikan sedikit perlindungan kepadaku di bawah naungan
kebesaranmu? Dapatkah engkau menganugerahkan sedikit kasih sayangmu
demi mengobati derita orang tua yang malang ini? Sedangkan Allah
ta'ala mencintai orang yang berbuat baik.
Wahai anakku!!
Aku hanya ingin melihat wajahmu, dan aku tidak menginginkan yang lain.
Wahai anakku! Hatiku teriris, air mataku mengalir, sedangkan engkau
sehat wal afiat. Orang-orang sering mengatakan bahwa engkau seorang
laki-laki supel, dermawan, dan berbudi. Anakku. Tidak tersentuhkah
hatimu terhadap seorang wanita tua yang lemah, tidak terenyuhkah
jiwamu melihat orang tua yang telah renta ini, ia binasa dimakan oleh
rindu, berselimutkan kesedihan dan berpakaian kedukaan!? Bukan karena
apa-apa?! Akan tetapi hanya karena engkau telah berhasil mengalirkan
air matanya. Hanya karena engkau telah membalasnya dengan luka di
hatinya. hanya karena engkau telah pandai menikam dirinya dengan
belati durhakamu tepat menghujam jantungnya. hanya karena engkau telah
berhasil pula memutuskan tali silaturrahim?!
Wahai anakku, ibumu inilah sebenarnya pintu surga bagimu. Maka titilah
jembatan itu menujunya, lewatilah jalannya dengan senyuman yang manis,
pemaafan dan balas budi yang baik. Semoga aku bertemu denganmu di sana
dengan kasih sayang Allah ta'ala, sebagaimana dalam hadits: "Orang tua
adalah pintu surga yang di tengah. Sekiranya engkau mau, maka sia-
siakanlah pintu itu atau jagalah!!" (HR. Ahmad)
Anakku.
Aku sangat mengenalmu, tahu sifat dan akhlakmu. Semenjak engkau telah
beranjak dewasa saat itu pula tamak dan labamu kepada pahala dan surga
begitu tinggi. Engkau selalu bercerita tentang keutamaan shalat
berjamaah dan shaf pertama. Engkau selalu berniat untuk berinfak dan
bersedekah.
Akan tetapi, anakku!
Mungkin ada satu hadits yang terlupakan olehmu! Satu keutamaan besar
yang terlalaikan olehmu yaitu bahwa Nabi yang mulia shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda: Dari Ibnu Mas'ud radhiallahu 'anhu
berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
"Wahai Rasulullah, amal apa yang paling mulia? Beliau bersabda:
"Shalat pada waktunya", aku berkata: "Kemudian apa, wahai Rasulullah?"
Beliau bersabda: "Berbakti kepada kedua orang tua", dan aku berkata:
"Kemudian, wahai Rasulullah!" Beliau menjawab, "Jihad di jalan Allah",
lalu beliau diam. Sekiranya aku bertanya lagi, niscaya beliau akan
menjawabnya. (Muttafaqun 'alaih)
Wahai anakku!!
Ini aku, pahalamu, tanpa engkau bersusah payah untuk memerdekakan
budak atau berletih dalam berinfak. Pernahkah engkau mendengar cerita
seorang ayah yang telah meninggalkan keluarga dan anak-anaknya dan
berangkat jauh dari negerinya untuk mencari tambang emas?! Setelah
tiga puluh tahun dalam perantauan, kiranya yang ia bawa pulang hanya
tangan hampa dan kegagalan. Dia telah gagal dalam usahanya. Setibanya
di rumah, orang tersebut tidak lagi melihat gubuk reotnya, tetapi yang
dilihatnya adalah sebuah perusahaan tambang emas yang besar. Berletih
mencari emas di negeri orang kiranya, di sebelah gubuk reotnya orang
mendirikan tambang emas.
Begitulah perumpamaanmu dengan kebaikan. Engkau berletih mencari
pahala, engkau telah beramal banyak, tapi engkau telah lupa bahwa di
dekatmu ada pahala yang maha besar. Di sampingmu ada orang yang dapat
menghalangi atau mempercepat amalmu. Bukankah ridhoku adalah keridhoan
Allah ta'ala, dan murkaku adalah kemurkaan-Nya?
Anakku, yang aku cemaskan terhadapmu, yang aku takutkan bahwa jangan-
jangan engkaulah yang dimaksudkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
dalam sabdanya: "Merugilah seseorang, merugilah seseorang, merugilah
seseorang", dikatakan, "Siapa dia,wahai Rasulullah?, Rasulullah
menjawab, "Orang yang mendapatkan kedua ayah ibunya ketika tua, dan
tidak memasukkannya ke surga". (HR. Muslim)
Anakku.
Aku tidak akan angkat keluhan ini ke langit dan aku tidak adukan duka
ini kepada Allah, karena sekiranya keluhan ini telah membumbung
menembus awan, melewati pintu-pintu langit, maka akan menimpamu
kebinasaan dan kesengsaraan yang tidak ada obatnya dan tidak ada
dokter yang dapat menyembuhkannya. Aku tidak akan melakukannya, Nak!
Bagaimana aku akan melakukannya sedangkan engkau adalah jantung
hatiku. Bagaimana ibumu ini kuat menengadahkan tangannya ke langit
sedangkan engkau adalah pelipur laraku. Bagaimana Ibu tega melihatmu
merana terkena do'a mustajab, padahal engkau bagiku adalah kebahagiaan
hidupku.
Bangunlah Nak!
Uban sudah mulai merambat di kepalamu. Akan berlalu masa hingga engkau
akan menjadi tua pula, dan al jaza' min jinsil amal. "Engkau akan
memetik sesuai dengan apa yang engkau tanam." Aku tidak ingin engkau
nantinya menulis surat yang sama kepada anak-anakmu, engkau tulis
dengan air matamu sebagaimana aku menulisnya dengan air mata itu pula
kepadamu.
Wahai anakku, bertaqwalah kepada Allah, dan kepada ibumu, peganglah
kakinya!!
Sesungguhnya surga di kakinya. Basuhlah air matanya, balurlah
kesedihannya, kencangkan tulang ringkihnya, dan kokohkan badannya yang
telah lapuk.
Anakku.
Setelah engkau membaca surat ini,terserah padamu! Apakah engkau sadar
dan akan kembali atau engkau ingin merobeknya.
Wassalam,
Ibumu