Oleh Siswo Khusyudhanto
Dulu saya pernah menerima telpon dari seorang lelaki, saya diancam dibunuh olehnya, penyebab nya sejak adik perempuannya membaca postingan saya yang berisi materi kajian para ustadz, juga mendapat link kajian para ustadz dari saya, adiknya berubah total, semula berpakaian sembarangan seperti memakai jeans dan hijab cuma dikepala, sekarang hijabnya syar'i dan bercadar, semula biasa melakukan amalan Bid'ah dan syirik, sekarang menjauhinya, semula biasa melakukan akad Ribawi sekarang berusaha menjauhi hal yang berbau riba, termasuk tidak meneruskan kredit motornya dan banyak lagi perubahan lain yang bikin orang sekitarnya kaget atas perubahan itu dan dia dianggap telah sesat. Saya menjawab ditelepon, " Bukankah itu baik semua?", Si lelaki mengatakan,"Itu bukan baik tapi sesat!", Subhanallah. Padahal adik perempuan lelaki itu tidak pernah ngobrol dengan saya, tidak pernah bertemu dengan saya, intinya tidak pernah berinteraksi langsung dengan saya.
Beberapa waktu yang lalu dikabari seseorang yang saya kenal, seorang yang saya anggap seperti paman atau ayah, seorang yang dulu sering berdiskusi dengan beliau berbagai hal, telah meninggal dunia, innalillahi wainnailaihi roji'un.
Sedih mendengar kabar itu, namun kesedihan saya bukan karena beliau meninggal dan saya belum sempat menemuinya terakhir kali, namun yang paling saya sedihkan adalah saya belum berhasil mengajak beliau untuk taat dalam beramal ibadah kepada Allah Ta'ala, dulu ketika masuk waktu shalat saya ajak beliau ke masjid terdekat, namun ditolaknya dengan mengatakan," saya belum siap taat beramal ibadah".
Sedih mendengar kabar itu, namun kesedihan saya bukan karena beliau meninggal dan saya belum sempat menemuinya terakhir kali, namun yang paling saya sedihkan adalah saya belum berhasil mengajak beliau untuk taat dalam beramal ibadah kepada Allah Ta'ala, dulu ketika masuk waktu shalat saya ajak beliau ke masjid terdekat, namun ditolaknya dengan mengatakan," saya belum siap taat beramal ibadah".
Jadi makin yakin bahwa hidayah mutlak milik Allah Ta'ala, sekeras apapun usaha kita mengajak seseorang kepada ketaatan beramal ibadah, hasilnya tetap Allah Ta'ala yang tetapkan. Dan ketika Allah Ta'ala berkehendak memberikan hidayah kepada seseorang, dari celah sempit sekalipun seseorang akan mendapatkan hidayahNya.
Bahkan seorang Rasul seperti Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam sekalipun tidak dapat memberikan hidayah kepada orang yang dikehendaki oleh beliau, apalagi kita manusia yang jauh dari istilah ma'shum?.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ ٨:٥٦
“Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak akan dapat memberi hidayah (petunjuk) kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi hidayah kepada orang yang Dia kehendaki, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”. [Al Qashash/28 : 56]
Sebab turunnya ayat ini berkaitan dengan meninggalnya Abu Thalib dalam keadaan tetap memeluk agama Abdul Muththalib (musyrik). Hal ini sebagaimana ditunjukkan hadits yang diriwayatkan dalam Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim, dari Ibnu Al Musayyab, bahwa bapaknya (Al Musayyab) berkata: ‘Tatkala Abu Thalib akan meninggal, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sllam bergegas mendatanginya. Dan saat itu, ‘Abdullah bin Abu Umayyah serta Abu Jahal berada di sisinya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya: “Wahai, pamanku. Ucapkanlah la ilaha illallah; suatu kalimat yang dapat aku jadikan pembelaan untukmu di hadapan Allah,’. Akan tetapi, ‘Abdullah bin Abu Umayyah dan Abu Jahal menimpali dengan ucapan : ‘Apakah engkau (Abu Thalib) membenci agama Abdul Muththalib?’. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulangi sabdanya lagi. Namun mereka berdua pun mengulang kata-katanya itu. Maka akhir kata yang diucapkannya, bahwa dia masih tetap di atas agama Abdul Muththalib dan enggan mengucapkan La ilaha illallah. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh, akan aku mintakan ampunan untukmu, selama aku tidak dilarang”.
Lalu Allah menurunkan firmanNya:
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَن يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَىٰ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ ٩:١١٣
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam”. [At Taubah/9 : 113]
Referensi,"Hidayah hanya milik Allah Subhanallah wa taala", karya Ustadz Abu Nida` Chomsaha Sofwan, di almanhaj.or.id
No comments:
Post a Comment