Ustadz Zainal Abidin Syamsudin dalam pembahasan buku "Aqidah yang lurus", mengatakan, "menyadarkan pelaku amalan bid'ah itu jauh lebih sulit daripada pelaku maksiat, bahkan ulama besar sekelas Imam At Tsaury mengatakan, setan/iblis lebih mencintai pelaku amalan bid'ah daripada pelaku maksiat, karena mereka merasa dalam kebenaran. Ini sungguh benar, misal saja ada sekelompok lelaki sedang bermain judi, coba dekati dan tegur dengan lemah lembut, mas sudahlah jangan bermain judi seperti ini kasihan anak istri, pasti si penjudi akan membalas dengan suara pelan, iya mas sebenarnya saya juga gak mau main judi terus namun kalau gak ada main kepala saya pusing karena suntuk. Sebaliknya coba datangi orang yang sedang mengamalkan tahlil kematian, bicara dengan lemah lembut, mas sudahlah jangan mengamalkan amalan ini, ini amalan tidak ada contohnya dari Nabi dan para sahabat, pastilah akan dibalas dengan kata-kata kasar, mungkin akan ada perkataan, mukamu juga bid'ah karena tidak ada dijaman Nabi, atau juga mungkin akan dilempar sandal karena mereka merasa mengamalkan sesuatu yang benar namun mereka mendapat teguran, tentu mereka sulit menerimanya.
Jika demikian kita wajib sabar dan doakan saja.
Imam Syafi'i adalah ulama besar, selalu meraih kemenangan dalam debat ilmu dengan siapapun juga dijamannya, namun beliau kalah berdebat dengan orang bodoh."
Jika demikian kita wajib sabar dan doakan saja.
Imam Syafi'i adalah ulama besar, selalu meraih kemenangan dalam debat ilmu dengan siapapun juga dijamannya, namun beliau kalah berdebat dengan orang bodoh."
Seorang tabiin bernama Sufyan ats Tsauri mengatakan :
قال وسمعت يحيى بن يمان يقول سمعت سفيان يقول : البدعة أحب إلى إبليس من المعصية المعصية يتاب منها والبدعة لا يتاب منها
Ali bin Ja’d mengatakan bahwa dia mendengar Yahya bin Yaman berkata bahwa dia mendengar Sufyan (ats Tsauri) berkata, “Bid’ah itu lebih disukai Iblis dibandingkan dengan maksiat biasa. Karena pelaku maksiat itu lebih mudah bertaubat. Sedangkan pelaku bid’ah itu sulit bertaubat” (Diriwayatkan oleh Ibnu Ja’d dalam Musnadnya no 1809 dan Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis hal 22).
Faktor terpenting yang mendorong seseorang untuk bertaubat adalah merasa berbuat salah dan merasa berdosa. Perasaan ini banyak dimiliki oleh pelaku kemaksiatan tapi tidak ada dalam hati orang yang gemar dengan bid’ah. Oleh karena itu, bagaimana mungkin seorang pelaku bid’ah bertaubat ketika dia tidak merasa salah bahkan dia merasa mendapat pahala dan mendekatkan diri kepada Allah dengan bid’ah yang dia lakukan.
Mungkin berdasarkan perkataan Sufyan ats Tsauri ini ada orang yang berkesimpulan bahwa orang yang melakukan bid’ah semisal tahlilan itu lebih rendah derajatnya dibandingkan yang melakukan maksiat semisal melacurkan diri.
Muhammad bin Husain al Jizani ketika menjelaskan poin-poin perbedaan antara maksiat dan bid’ah mengatakan, “Oleh karena itu maksiat memiliki kekhasan berupa ada perasaan menginginkan bertaubat dalam diri pelaku maksiat. Ini berbeda dengan pelaku bid’ah. Pelaku bid’ah hanya semakin mantap dengan terus menerus melakukan kebid’ahan karena dia beranggapan bahwa amalnya itu mendekatkan dirinya kepada Allah, terlebih para pemimpin kebid’ahan besar. Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah,
أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآَهُ حَسَنًا
“Maka Apakah orang yang dijadikan (syaitan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu Dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh syaitan)?” (Qs. Fathir:8)
Sufyan ats Tsauri mengatakan, “Bid’ah itu lebih disukai Iblis dibandingkan dengan maksiat biasa. Karena pelaku maksiat itu lebih mudah bertaubat. Sedangkan pelaku bid’ah itu sulit bertaubat”.
Referensi , " Mengapa dosa bid'ah lebih besar dari maksiat", di konsultasiSyariah.co
By Siswo Kusyudhanto
Fans page Sunnah Diaries
Fans page Sunnah Diaries
No comments:
Post a Comment