Jika makanan tersebut berupa buah-buahan, nasi dan lauk pauknya serta tidak ada dagingnya, maka hukumnya halal karena tidak dalil yang mengharamkan.
Jika makanan tersebut berupa daging sembelihan, maka dirinci juga: jika diniatkan karena Allah, hukumnya halal. Karena, daging tersebut tidak dipersembahkan kepada selain Allah, melainkan hanya untuk menghormati tamu yang datang pada acara tersebut, dan ini yang sering diakui oleh orang-orang yang punya hajat dalam acara tersebut. Tetapi, jika benar-benar ada sebagian daging yang ketika menyembelih meniatkan untuk arwah orang yang meninggal, maka status daging tersebut menjadi haram.
Pertanyaannya: Bukankah acara memperingati kematian seseorang tersebut tidak ada tuntunan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Bukankah orang yang memakan makanan yang disuguhkan berarti telah menyetujui dan mendukung acara yang tidak ada tuntunannya, berarti hukumnya haram memakan makanan tersebut?
Jawabannya :
Pertama: Tidak semua orang yang ikut makan setuju dengan acara tersebut, karena terkadang dia hanya mendapat kiriman makanan dari tetangganya, walaupun dia tidak ikut acara tersebut. Bahkan, barangkali dia menentang acara tersebut.
Apakah makanan tersebut dikembalikan lagi atau diberikan kepada orang yang lebih membutuhkan? Ini tergantung pada keadaan masyarakat yang menjadi obyek dakwah.
Kedua: Harus dibedakan antara dzat makanan yang pada dasarnya halal, dengan sebuah acara bid’ah yang tidak ada tuntunannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Keduanya tidak saling terkait. Bukankah anda tidak setuju dengan orang Jepang yang menyembah matahari atau tidak beragama, tetapi tetap saja anda membeli mobil yang diproduksinya? Apakah membeli mobil yang diproduksi orang kafir, berarti kita setuju dengan kekafiran mereka? Tentu saja tidak ada kelaziman antara keduanya.
Bagaimana Hukum Makanan dari Perayaan Natalan?
Jika makanan tersebut bukan masuk dalam katagori ritual agama mereka atau bukan dipersembahkan kepada selain Allah yang berupa daging dan sejenisnya, maka dikembalikan kepada hukum asalnya yaitu halal. Karena makanan tersebut kebanyakan disuguhkan untuk orang-orang yang datang ke gereja, bukan bagian dari ritual itu sendiri.
Jika makanan itu berupa daging yang dipersembahkan kepada selain Allah, maka hukumnya haram. Di dalam Mushonnaf Abdurrozaq disebutkan bahwa :
أَنَّ اِمْرَأَةً سَأَلَتْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: إِنَّ لَنَا أظآرا مِنَ الْمَجُوْسِ، وَإِنَّهُ يَكُوْنُ لَهُمْ الْعِيْدُ فَيَهْدُوْنَ لَنَا؟ قَالَتْ: أَمَّا مَا ذُبِحَ لِذَلِكَ الْيَوْم فَلَا تَأْكُلُوْا، وَلَكِنْ كُلُوْا مِنْ أَشْجَارِهِمْ.
“Suatu ketika seorang perempuan bertanya kepada Aisyah, seraya berkata: “kami mempunyai teman orang-orang Majusi, mereka mempunyai hari raya, dimana pada hari itu biasa mereka memberikan hadiah kepada kami? Berkata Aisyah: “Adapun daging dari sembelihan pada hari itu (yang dipersembahkan selain Allah), maka janganlah kalian makan, tetapi makanlah yang berasal dari pohon-pohon mereka (yang bukan sembelihan)“
عَنْ أَبِيْ بَرْزَةَ: أَنَّهُ كَانَ لَهُ سُكَّانٌ مَجُوْسٌ، فَكَانُوا يَهْدُوْنَ لَهُ فِي النَّيْرُوْزِ وَالْمَهَرْجَانَ، فَكَانَ يَقُوْلُ لِأَهْلِهِ: مَا كَانَ مِنْ فَاكِهَةٍ فَكُلُوْهُ، وَمَا كَانَ مِنْ غَيْرِ ذَلِكَ فَرَدُّوْهُ.
Dari Abu Barzah, beliau mempunyai tetangga orang-orang Majusi, pada hari raya mereka, yaitu Nairuz dan Maharjan, mereka memberikan hadiah kepadanya, maka beliau menasihati keluarganya: “Yang berupa buah-buahan maka, makanlah, selain itu kembalikan kepada mereka.“
Berkata Ibnu Taimiyah dalam Iqtidho Shirathol Mustaqim, hal: 250, menanggapi dua atsar di atas: “Ini semuanya menunjukkan bahwa tidak ada pengaruhnya dalam hari raya mereka untuk menerima hadiah dari mereka, bahkan (menerima hadiah) pada waktu hari raya atau di luar hari raya adalah hukumnya sama. Karena menerima hadiah dari mereka tidak termasuk dalam membantu penyebaran syiar kekafiran mereka…Makanya dibolehkan memakan makanan (sembelihan) dari Ahli Kitab dalam hari raya mereka dengan cara jual beli atau pemberian hadiah atau dengan cara-cara yang lain selama mereka tidak menyembelihnya demi ritual hari raya tersebut.”
Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA
Pondok Gede, 8 Syawal 1424 / 15 Agustus 2013
No comments:
Post a Comment