Oleh Siswo Kusyudhanto
Dalam sebuah kajian Ustadz Ali Ahmad ditanya salah seorang jamaah mengenai apakah perlu belajar filsafat Islam, beliau menjawab, " belajar yang benar, nanti kita akan tau yang tidak benar dengan sendirinya, sejatinya filsafat adalah pengagungan terhadap akal manusia, padahal yang diperlukan dalam beragama adalah keyakinan."
Beliau mencontohkan, suatu hari misal mobil kita rusak dan kita tidak mengetahui apa masalahnya, kemudian kita memanggil teknisi untuk memperbaiki, ketika teknisi sampai ke tempat kita kemudian kita berlagak sok pintar mengatakan karena ini dan itu mobil rusak dan mungkin perlu diperbaiki ini dan itu, tentu teknisi itu akan sedikit tersinggung, lalu berkata, " ya udah kalau bapak lebih tau mobil bagusnya bapak yang perbaiki saja", mendengar perkataan seperti itu tentu kita menyerah, kemudian menyerahkan sepenuhnya kepada terknisi tersebut.
Ketika kita menyerahkan mobil pada teknisi sepenuhnya menunjukkan bahwa disini diperlukan keyakinan kita , bukan akal kita, karena kita yakin teknisi tersebut lebih memiliki kemampuan memperbaiki mobil kita.
Ketika kita menyerahkan mobil pada teknisi sepenuhnya menunjukkan bahwa disini diperlukan keyakinan kita , bukan akal kita, karena kita yakin teknisi tersebut lebih memiliki kemampuan memperbaiki mobil kita.
Jika dalam urusan dunia saja kita perlu keyakinan sepenuhnya, apalagi soal agama?, dalam agama tentu lebih perlu keyakinan penuh bahwa apa yang disampaikan Allah dan RasulNya pasti benar, sehingga apa yang dilarang oleh Allah dan RasulNya akan berusaha kita tinggalkan, dan yang diperintahkan oleh Allah dan RasulNya kita berusaha kerjakan, karena kita yakin hanya demikian kita akan selamat di dunia dan akhirat.
waallahua'lam.
waallahua'lam.
Allah Ta’ala berfirman.
وَمَا جَعَلْنَا عِدَّتَهُمْ إِلَّا فِتْنَةً لِلَّذِينَ كَفَرُوا لِيَسْتَيْقِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ وَيَزْدَادَ الَّذِينَ آمَنُوا إِيمَانًا
“Dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab yakin dan supaya orang-orang yang beriman bertambah imannya”. [Al-Mudatstsir/74 : 31]
“Dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab yakin dan supaya orang-orang yang beriman bertambah imannya”. [Al-Mudatstsir/74 : 31]
وَإِذَا مَا أُنْزِلَتْ سُورَةٌ فَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَٰذِهِ إِيمَانًا ۚ فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا فَزَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَهُمْ يَسْتَبْشِرُونَ ﴿١٢٤﴾ وَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْسًا إِلَىٰ رِجْسِهِمْ وَمَاتُوا وَهُمْ كَافِرُونَ
“Dan apabila diturunkan suatu surat, maka diantara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata :’Siapa di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini ?’. Adapun orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir”. [At-Taubah/9 : 124-125]
Sumber Referensi "Iman menurut Ahlu Sunnah wal jamaah", karya Syaikh Shalih Ustaimin di almanhaj.or
No comments:
Post a Comment