Oleh Siswo Kusyudhanto
Dalam sebuah video seorang ustadz yang terkenal nampak menjawab pertanyaan jamaah kajiannya maulid nabi apakah masuk amalan bid'ah," ustadz ada sebagian orang mengatakan bahwa maulid nabi adalah amalan bid'ah, benarkah ini?'.
Dan si ustadz yang katanya lulusan luar negri ini dan ahli tafsir menjawab dengan akalnya. " maulid nabi itu peringatan atas kelahiran nabi, didalamnya termasuk untuk mengenang Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa Sallam, mengenang kebaikan beliau, mengenang akhlak beliau, mengenang risalah beliau dan seterusnya. Hal ini perlu dan penting kita lakukan karena kita tidak pernah bertemu beliau. Sama halnya kita memperingati hari pahlawan, atau hari ibu dan semacamnya. Ini bukan bid'ah." Dan para jamaahnyapun manggut-manggut menandakan membenarkan hujjah si ustadz.
SubhanaAllah, ikut miris mendengar penjelasan si ustadz, andai disitu ada anak pesantren yang bermanhaj Sunnah dan mengetahui perjalanan para ulama besar termasuk Imam Syafi'i, sehingga mengetahui Imam Syafi'i yang lahir 150 Hijriyah, artinya beliau lahir 139 tahun setelah Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassalam wafat(tahun 11 Hijriyah), kemudian bertanya kepada si ustadz," ustadz Imam Syafi'i lahir jauh setelah Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam wafat, sehingga tidak pernah bertemu dengan beliau namun setau saya tidak pernah merayakan maulid nabi, bagaimana menjelaskan alasan ini ?'. Pasti si ustadz yag lulusan luar negri itu langsung terdiam.
Memang inilah sifat yang melekat kepada pelaku kebid'ahan, seperti dijelaskan oleh Imam Syathibi dalam Kitab Al Ithi'sam, beliau mengatakan, " Jika Ahlu Sunnah mereka berjalan dibelakang dalil sahhih dari Alquran dan As Sunnah, smereka mengikuti kearah mana dalil sahhih menuju(artinya belajar ilmunya dahulu baru beramal), sebaliknya pelaku kebid'ahan mereka berjalan mendahului dalil sahhih dari Alquran ataupun As Sunnah( mereka beramal dahulu baru kemudian mencari dalil untuk pembenar amalan mereka.)"
Dan si ustadz yang katanya lulusan luar negri ini dan ahli tafsir menjawab dengan akalnya. " maulid nabi itu peringatan atas kelahiran nabi, didalamnya termasuk untuk mengenang Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa Sallam, mengenang kebaikan beliau, mengenang akhlak beliau, mengenang risalah beliau dan seterusnya. Hal ini perlu dan penting kita lakukan karena kita tidak pernah bertemu beliau. Sama halnya kita memperingati hari pahlawan, atau hari ibu dan semacamnya. Ini bukan bid'ah." Dan para jamaahnyapun manggut-manggut menandakan membenarkan hujjah si ustadz.
SubhanaAllah, ikut miris mendengar penjelasan si ustadz, andai disitu ada anak pesantren yang bermanhaj Sunnah dan mengetahui perjalanan para ulama besar termasuk Imam Syafi'i, sehingga mengetahui Imam Syafi'i yang lahir 150 Hijriyah, artinya beliau lahir 139 tahun setelah Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassalam wafat(tahun 11 Hijriyah), kemudian bertanya kepada si ustadz," ustadz Imam Syafi'i lahir jauh setelah Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam wafat, sehingga tidak pernah bertemu dengan beliau namun setau saya tidak pernah merayakan maulid nabi, bagaimana menjelaskan alasan ini ?'. Pasti si ustadz yag lulusan luar negri itu langsung terdiam.
Memang inilah sifat yang melekat kepada pelaku kebid'ahan, seperti dijelaskan oleh Imam Syathibi dalam Kitab Al Ithi'sam, beliau mengatakan, " Jika Ahlu Sunnah mereka berjalan dibelakang dalil sahhih dari Alquran dan As Sunnah, smereka mengikuti kearah mana dalil sahhih menuju(artinya belajar ilmunya dahulu baru beramal), sebaliknya pelaku kebid'ahan mereka berjalan mendahului dalil sahhih dari Alquran ataupun As Sunnah( mereka beramal dahulu baru kemudian mencari dalil untuk pembenar amalan mereka.)"
Dalam sebuah kajian Ustadz Maududi Abdullah mengkaji perkataan Imam Syathibi ini, beliau mengatakan, " Kaidahnya seorang hamba mengikuti perintah dan larangan Tuannya, demikian juga kaidahnya dalam beramal ibadah didalam urusan agama, yakni adalah iitiba', mengikuti dalil sahhih dari Alquran dan Hadist sahhih, karena kita adalah hamba dari Allah dan pengikut Rasulullah, bukan sebaliknya berjalan mendahului Allah dan RasulNYa. JIka kita beramal dahulu kemudian mencari dalil pembenar dari Alquran dan Hadist, sama halnya kita memaksa Allah dan RasulNya membenarkan amalan kita, dan jika demikian yang terjadi maka menjadi rancu, mana yang berlaku sebagai Tuan dan mana yang berlaku sebagai Hamba?".
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Hujurat:1).
No comments:
Post a Comment