Oleh Siswo Kusyudhanto
Ada teman kajian berkisah dulu sempat ikut sebuah firqoh yang suka berdakwah ke tempat-tempat yang jauh, semangat mereka luar biasa, mengajak umat Muslim untuk shalat berjamaah di mushola dan masjid terdekat, namun sayang semangat mereka tidak ditopang dengan keilmuan yang cukup, sehingga mereka sendiri tidak tau amalan mereka sudah benar atau tidak, apakah ada dalil sahhih atas amalan tersebut, bahkan mereka tidak punya ilmu cukup untuk disampaikan kepada masyarakat.
Menurut ceritanya pada suatu hari dia dan bersama rombongannya sampai di sebuah daerah yang padat penduduknya, seperti biasa mereka menginap di masjid dilingkungan itu, kemudian pada waktu yang disepakati kelompok ini dipecah menjadi beberapa kelompok kecil untuk berkunjung dari rumah kerumah, sampailah teman saya dan dua orang rekannya pada sebuah rumah. Dengan semangat mereka mengajak pemilik rumah seorang bapak yang cukup tua, rambutnya memutih semua, untuk diajak datang ke masjid menunaikan shalat fardhu berjamaah.
Ketika ditemui si bapak duduk disebuah kursi di ruangan tamu, beliau mempersilahkan para pria bersorban itu untuk mengobrol dengannya. Ketika bapak itu diajak datang ke masjid jawaban bapak itu cuma "insyaAllah", dan makin bikin para pria bersorban ini penasaran, kenapa jawabannya selalu insyaAllah, dalam hati mereka andai dapat mengajak bapak ini ke masjid pasti besar pahalanya. merekapun makin bersemangat menasehati si bapak, diceritakan kepada si bapak pahala shalat berjamaah, sampai soal surga dan neraka, bahkan sampai ada kata-kata sedikit paksaan didalamnya. Karena bapak ini dinasehati terus secara bergantian oleh orang-orang itu, pada akhirnya ada sedikit kemarahan pada si bapak, dia akhirnya berkata, " Nak jangan berdakwah seperti ini, jika ada paksaan dalam agama pasti orang akan lari dari kalian. Ketahuilah nak saya mengidap flu tulang selama beberapa tahun, kenapa sedari tadi saya cuma duduk di kursi ini, karena saya tidak dapat berdiri, apalagi pergi ke masjid yang berjarak beberapa ratus meter dari rumah saya, tentu sulit bagi saya. Oleh karena saya ada udzur maka saya melakukan shalat dirumah, diatas kursi ini."
Mendengar itu para pria bersorban itu langsung terdiam, jika semua mereka yang menasehati si bapak, justru saat ini mereka yang dinasehati.
Lalu si Bapak bertanya, " saya ingin tau kedalaman pengetahuan agama kalian, kenapa Surat dalam Alquran dinamai sebagai surat Al Baqarah?., ada yang tau?." tiba-tiba suasana sunyi senyap, para pria bersorban itu saling memandang temannya, siapa tau diantara mereka tau jawaban itu. Karena tidak ada jawaban akhirnya si Bapak menerangkan, " ketahuilah Surat dinamakan surat “Al Baqarah” (sapi betina ) karena didalamnya disebutkan kisah penyembelihan sapi betina yang diperintahkan oleh Allah kepada Bani Isra'il (ayat 67-74). ada peristiwa penyembelihan sapi oleh Bani Israil. Pulanglah kalian dan perdalam ilmu agama sebelum mendakwahkannya, dan belajar juga adab bagaimana berdakwah dengan benar sesuai Sunnahnya." Mendengar nasehat si Bapak, para pria bersorban meninggalkan rumah itu dengan wajah tertunduk.
Setelah mereka keluar rumah itu baru mereka mendengar dari orang sekitarnya bahwa Bapak itu adalah seorang sarjana S2 bidang tafsir lulusan luar negri.
Cerita ini mengingatkan saya kepada kajian Ustadz Abu Haidar As Sundawy, beliau mengatkan," sangat berbahaya berbicara agama tampa ilmu, Allah bahkan mengancam seseorang mendapat dosa melebihi syirik jika berbicara agama tampa ilmu, padahal syirik adalah dosa besar yang tidak terampuni."
Mendengar itu para pria bersorban itu langsung terdiam, jika semua mereka yang menasehati si bapak, justru saat ini mereka yang dinasehati.
Lalu si Bapak bertanya, " saya ingin tau kedalaman pengetahuan agama kalian, kenapa Surat dalam Alquran dinamai sebagai surat Al Baqarah?., ada yang tau?." tiba-tiba suasana sunyi senyap, para pria bersorban itu saling memandang temannya, siapa tau diantara mereka tau jawaban itu. Karena tidak ada jawaban akhirnya si Bapak menerangkan, " ketahuilah Surat dinamakan surat “Al Baqarah” (sapi betina ) karena didalamnya disebutkan kisah penyembelihan sapi betina yang diperintahkan oleh Allah kepada Bani Isra'il (ayat 67-74). ada peristiwa penyembelihan sapi oleh Bani Israil. Pulanglah kalian dan perdalam ilmu agama sebelum mendakwahkannya, dan belajar juga adab bagaimana berdakwah dengan benar sesuai Sunnahnya." Mendengar nasehat si Bapak, para pria bersorban meninggalkan rumah itu dengan wajah tertunduk.
Setelah mereka keluar rumah itu baru mereka mendengar dari orang sekitarnya bahwa Bapak itu adalah seorang sarjana S2 bidang tafsir lulusan luar negri.
Cerita ini mengingatkan saya kepada kajian Ustadz Abu Haidar As Sundawy, beliau mengatkan," sangat berbahaya berbicara agama tampa ilmu, Allah bahkan mengancam seseorang mendapat dosa melebihi syirik jika berbicara agama tampa ilmu, padahal syirik adalah dosa besar yang tidak terampuni."
Alloh Ta’ala berfirman:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَاْلإِثْمَ وَالْبَغْىَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُوا بِاللهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
Katakanlah: “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ketahui (berbicara tentang Allah tanpa ilmu)” (Al-A’raf:33)
Syeikh Abdul Aziz bin Abdulloh bin Baaz rohimahulloh berkata: “Berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk perkara terbesar yang diharamkan oleh Allah, bahkan hal itu disebutkan lebih tinggi daripada kedudukan syirik. Karena di dalam ayat tersebut Alloh mengurutkan perkara-perkara yang diharamkan mulai yang paling rendah sampai yang paling tinggi.
Dan berbicara tentang Alloh tanpa ilmu meliputi: berbicara (tanpa ilmu) tentang hukum-hukumNya, syari’atNya, dan agamaNya. Termasuk berbicara tentang nama-namaNya dan sifat-sifatNya, yang hal ini lebih besar daripada berbicara (tanpa ilmu) tentang syari’atNya, dan agamaNya.” [Catatan kaki kitab At-Tanbihat Al-Lathifah ‘Ala Ma Ihtawat ‘alaihi Al-‘aqidah Al-Wasithiyah, hal: 34, tahqiq Syeikh Ali bin Hasan, penerbit:Dar Ibnil Qayyim]
Dan berbicara tentang Alloh tanpa ilmu meliputi: berbicara (tanpa ilmu) tentang hukum-hukumNya, syari’atNya, dan agamaNya. Termasuk berbicara tentang nama-namaNya dan sifat-sifatNya, yang hal ini lebih besar daripada berbicara (tanpa ilmu) tentang syari’atNya, dan agamaNya.” [Catatan kaki kitab At-Tanbihat Al-Lathifah ‘Ala Ma Ihtawat ‘alaihi Al-‘aqidah Al-Wasithiyah, hal: 34, tahqiq Syeikh Ali bin Hasan, penerbit:Dar Ibnil Qayyim]
Referensi muslim.or.id
No comments:
Post a Comment