Oleh Siswo Khusyudhanto
Beberapa hari yang lalu ketika sedang berbelanja di sebuah swalayan tidak diduga bertemu teman lama, dan sudah lama tidak berjumpa, setelah kami mengobrol saling menanyakan kabar, mungkin melihat penampilan saya yang jenggotan dan celana cingkrang dia tanya, "Ngaji di Masjid Raudhatul Jannah yaa?", Saya jawab iya, lalu dia bertanya lagi," Berarti sudah hijrah yaa?", Saya terdiam, maklum ini pertanyaan yang sulit dijawab, karena memang kebanyakan orang di Pekanbaru menganggap orang yang sudah ngaji di Masjid Raudhatul Jannah Pekanbaru dianggap sudah hijrah dari pemahaman lama mereka, bahkan seperti Ustadz Ahmad Zainuddin Al Banjary menamakan masjid ini "Masjid Taubat", karena banyak orang bertaubat di masjid ini, banyak sekali orang hijrah kepada pemahaman Sunnah setelah duduk dikajian yang digelar di Masjid Raudhatul Jannah.
Namun pertanyaan "Sudah Hijrah?", Sebenarnya sangat sulit dijawab, mungkin dari penampilan kita sudah hijrah dari yang tidak sesuai Sunnah kepada yang memenuhi kaidah Sunnah seperti memakai celana cingkrang dan berjenggot, dan meninggalkan celana ketat seperti jeans dan meninggalkan celana pendek. Namun apakah soal akhlak kita sudah hijrah?, Soal perbuatan maksiat sudah hijrah?, Soal berhubungan dengan riba kita sudah hijrah?, Soal berbuat zalim kepada sesama manusia sudah hijrah?, Dan seterusnya, itu perkara lain, urusan yang jauh lebih penting dari sekedar penampilan luar. Itu semua pertanyaan yang sangat sulit dijawab dengan "iya saya sudah hijrah".
Benar kata Ustadz Maududi Abdullah, seseorang untuk melakukan hijrah kepada pemahaman Sunnah itu sangat mudah, bagian tersulit adalah ketika harus Istiqomah diatas pemahaman Sunnah, itu perlu perjuangan berat untuk menegakkan amal ibadah dan perlu juga berjuang selalu menjaga diri dari perbuatan yang melanggar syariat Allah Ta'ala dan RasulNya.
Harusnya menjadi renungan kita semua, termasuk saya yang menuliskan hal ini, sudahkah kita hijrah sepenuhnya kepada ketaatan dan keimanan yang benar?, Atau yang hijrah cuma bagian luarnya saja?.
Nikmat yang diberikan oleh Allâh Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya tidak terbatas. Di antara nikmat yang paling besar adalah nikmat iman dan islam. Demikian juga nikmat istiqomah di atas iman. Hal ini ditunjukkan oleh hadits di bawah ini:
عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الثَّقَفِيِّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قُلْ لِي فِي الْإِسْلَامِ قَوْلًا لَا أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا بَعْدَكَ قَالَ قُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ فَاسْتَقِمْ
Dari Sufyan bin Abdullâh ats-Tsaqafi, ia berkata: Aku berkata, “Wahai Rasûlullâh, katakan kepadaku di dalam Islam satu perkataan yang aku tidak akan bertanya kepada seorangpun setelah Anda!” Beliau menjawab: “Katakanlah, ‘aku beriman’, lalu istiqomahlah”. [HR Muslim, no. 38; Ahmad 3/413; Tirmidzi, no. 2410; Ibnu Majah, no. 3972].
Sumber Referensi, "ISTIQOMAH", karya Ustadz Abu Muslim Al Asy'ari di web almanhaj.or.id
No comments:
Post a Comment