Oleh Siswo Kusyudhanto
Semalam ditelpon oleh Ustadz Syarif, beliau pengajar halaqah bacaa Al-Quran yang kami adakan di Lembaga Pemasyarakatan Sarolangun Jambi, beliau menceritakan tentang suka dukanya mengajar bacaan Al-Quran ditengah para warga binaan, yang notabene menjalani hukuman atas kejahatan yang pernah mereka lakukan dimasa lalu. Banyak diantaranya adalah seorang yang sebelumnya tidak mengenal sama sekali agama, bahkan ada tidak pernah memegang kitab Al-Quran sama sekali selama hidupnya, dan baru mempelajari bacaan Al-Quran dikelas yang Ustadz Syarif bina.
Namun dari cerita beliau yang bikin haru yakni semangat mereka untuk memperbaiki diri dan berusaha meraih hidayah Allah Azza Wajalla, hal ini terlihat dari makin banyaknya warga binaan(napi) yang ingin ikut kelas bacaan Al-Quran ini. Ada seorang napi yang badannya penuh tato sudah mulai lancar membaca Al-Qur’an, dan membiasakan diri membaca Al Kahfi di Malam Jumat mengikuti Sunnahnya, alhamdulillah.
Sementara kalau kita bandingkan diluar lembaga pemasyarakatan banyak orang bebas melakukan apa saja, namun sedikit dari mereka tergerak hatinya untuk mempelajari bacaan Al-Quran, mereka tidak mau tau apakah bacaannya sudah bagus atau tidak, bahkan diantaranya sama sekali tidak dapat membaca Al-Qur’an dan merasa tidak bersalah sedikitpun, padahal kelak di alam kubur ada pertanyaan soal Kitab Al-Quran, dan itu tidak dapat dijawab dengan lesan, namun jawabannya adalah dari amalan, waallahua'lam.
Jadi ingat kajian Ustadz Firanda Adirja, kata beliau, " Allah paling tau siapa yang mendapatkan hidayah, dan siapa yang tidak layak mendapatkan hidayah.
Hidayah tidak ada hubungannya dengan kedekatan seseorang, seperti misal dalam kisah Nabi Muhammad Shallallahu alaihi Wassalam ketika meminta bersyahadat menjelang ajal pamannya yakni Abu Thalib, namun pamannya menolak permintaan beliau. Jika pamannya dibandingkan dengan Khalid bin Walid Radhliyaa Anhuu, secara logika paman beliau lebih berhak mendapatkan hidayah karena hubungannya lebih dekat dengan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi Wassalam dibandingkan dengan Khalid bin Walid Radhliyaa Anhuu, karena paman beliau adalah orang yang mencintai dan sering melindungi Nabi Muhammad Shallallahu alaihi Wassalam dari perbuatan jahat kaum Quraish sementara Khalid bin Walid Radhliyaa Anhuu adalah orang mengangkat senjata dan memerangi Nabi Muhammad Shallallahu alaihi Wassalam saat itu, namun Allah Azza Wajalla justru memberikan hidayah kepada Khalid bin Walid Radhliyaa Anhuu, dan menjadikannya panglima besar memimpin umat Muslim memerangi kaum musyrikin dikemudian hari.
Hal ini membuktikan bahwa hidayah adalah hak mutlak Allah Azza Wajalla, bahkan seorang seperti Nabi Muhammad Shallallahu alaihi Wassalam sama sekali tidak dapat memberikan hidayah kepada orang terdekatnya, waallahua'lam. "
Namun dari cerita beliau yang bikin haru yakni semangat mereka untuk memperbaiki diri dan berusaha meraih hidayah Allah Azza Wajalla, hal ini terlihat dari makin banyaknya warga binaan(napi) yang ingin ikut kelas bacaan Al-Quran ini. Ada seorang napi yang badannya penuh tato sudah mulai lancar membaca Al-Qur’an, dan membiasakan diri membaca Al Kahfi di Malam Jumat mengikuti Sunnahnya, alhamdulillah.
Sementara kalau kita bandingkan diluar lembaga pemasyarakatan banyak orang bebas melakukan apa saja, namun sedikit dari mereka tergerak hatinya untuk mempelajari bacaan Al-Quran, mereka tidak mau tau apakah bacaannya sudah bagus atau tidak, bahkan diantaranya sama sekali tidak dapat membaca Al-Qur’an dan merasa tidak bersalah sedikitpun, padahal kelak di alam kubur ada pertanyaan soal Kitab Al-Quran, dan itu tidak dapat dijawab dengan lesan, namun jawabannya adalah dari amalan, waallahua'lam.
Jadi ingat kajian Ustadz Firanda Adirja, kata beliau, " Allah paling tau siapa yang mendapatkan hidayah, dan siapa yang tidak layak mendapatkan hidayah.
Hidayah tidak ada hubungannya dengan kedekatan seseorang, seperti misal dalam kisah Nabi Muhammad Shallallahu alaihi Wassalam ketika meminta bersyahadat menjelang ajal pamannya yakni Abu Thalib, namun pamannya menolak permintaan beliau. Jika pamannya dibandingkan dengan Khalid bin Walid Radhliyaa Anhuu, secara logika paman beliau lebih berhak mendapatkan hidayah karena hubungannya lebih dekat dengan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi Wassalam dibandingkan dengan Khalid bin Walid Radhliyaa Anhuu, karena paman beliau adalah orang yang mencintai dan sering melindungi Nabi Muhammad Shallallahu alaihi Wassalam dari perbuatan jahat kaum Quraish sementara Khalid bin Walid Radhliyaa Anhuu adalah orang mengangkat senjata dan memerangi Nabi Muhammad Shallallahu alaihi Wassalam saat itu, namun Allah Azza Wajalla justru memberikan hidayah kepada Khalid bin Walid Radhliyaa Anhuu, dan menjadikannya panglima besar memimpin umat Muslim memerangi kaum musyrikin dikemudian hari.
Hal ini membuktikan bahwa hidayah adalah hak mutlak Allah Azza Wajalla, bahkan seorang seperti Nabi Muhammad Shallallahu alaihi Wassalam sama sekali tidak dapat memberikan hidayah kepada orang terdekatnya, waallahua'lam. "
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ ٨:٥٦
“Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak akan dapat memberi hidayah (petunjuk) kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi hidayah kepada orang yang Dia kehendaki, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”. [Al Qashash/28 : 56]
Sebab turunnya ayat ini berkaitan dengan meninggalnya Abu Thalib dalam keadaan tetap memeluk agama Abdul Muththalib (musyrik). Hal ini sebagaimana ditunjukkan hadits yang diriwayatkan dalam Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim, dari Ibnu Al Musayyab, bahwa bapaknya (Al Musayyab) berkata: ‘Tatkala Abu Thalib akan meninggal, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sllam bergegas mendatanginya. Dan saat itu, ‘Abdullah bin Abu Umayyah serta Abu Jahal berada di sisinya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya: “Wahai, pamanku. Ucapkanlah la ilaha illallah; suatu kalimat yang dapat aku jadikan pembelaan untukmu di hadapan Allah,’. Akan tetapi, ‘Abdullah bin Abu Umayyah dan Abu Jahal menimpali dengan ucapan : ‘Apakah engkau (Abu Thalib) membenci agama Abdul Muththalib?’. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulangi sabdanya lagi. Namun mereka berdua pun mengulang kata-katanya itu. Maka akhir kata yang diucapkannya, bahwa dia masih tetap di atas agama Abdul Muththalib dan enggan mengucapkan La ilaha illallah. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh, akan aku mintakan ampunan untukmu, selama aku tidak dilarang”. Lalu Allah menurunkan firmanNya:
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَن يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَىٰ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ ٩:١١٣
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam”. [At Taubah/9 : 113]
Maka selalulah bersyukur ketika berada diatas amal ibadah, karena hidayah itu mahal.
Referensi, "Hidayah milik Allah subhanahu wa ta’ala", karya Ustadz Abu Nida Chomsaha sofyan di almanhaj.or id.
No comments:
Post a Comment