Oleh Siswo Kusyudhanto
Dalam sebuah kajian beberapa waktu yang lalu ada usatdz membahas tentang fikih doa, kata beliau banyak doa tidak terkabul disebabkan doa yang dipanjatkan tidak diketahui oleh orang yang mendoakannya, semisal dalam masyarakat kita seringkali ada seorang imam memimpin doa dan diaamiinkan jamaahnya, padahal jamaahnya tidak mengerti makna dalam doa yang dibacakan oleh sang imam, akhirnya jamaahnya cuma menyebutkan "aamiin-aamiin" tapi tidak mengerti yang diaamiinkan, oleh karenanya dalam tuntunan sunnahnya doa itu yang paling baik adalah dilakukan sendiri-sendiri karena orang yang berdoa sendiri tau apa yang didoakan olehnya, dia paling tau apa yang akan diminta kepada Allah Ta'ala.
Dan ada beberapa pendapat ulama menyebutkan paling afdhol adalah berdoa yang lafadznya diambil dari Al-Quran dan hadits, dan mengetahui makna didalamnya, namun jika tidak mengetahui lafadz doa dalam bahasa Arab lebih baik menggunakan bahasa yang dipahami , karena yang menciptakan bahasa manusia juga Allah Ta'ala, tentu Allah Ta'ala akan mengerti apa yang disampaikan hambanya dalam bahasa apapun, Allah Ta'ala pasti mengetahui arti dan makna doa meskipun disampaikan dalam bahasa Indonesia, bahasa Sunda, Bahasa Melayu dan seterusnya, waallahua'lam.
Sudah sepatutnya do’a yang dipanjatkan dipahami maknanya. Karena hati yang memahami isi do’a tentu saja do’anya akan lebih didengar dan dikabulkan daripada hati yang lalai. Oleh karena itu, setiap do’a yang dipanjatkan hendaknya dipahami artinya sehingga bisa lebih diresapi.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ادْعُوا اللَّهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالإِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ
“Berdoalah kepada Allah dalam keadaan yakin akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai.” (HR. Tirmidzi no. 3479. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Syaikh Sholih Al Munajid hafizhohullah dalam situs beliau Al Islam Sual wa Jawab memberikan penjelasan,
“Jika orang yang shalat mampu berdoa dengan bahasa Arab, maka ia tidak boleh berdo’a dengan bahasa selainnya. Namun jika orang yang shalat tersebut tidak mampu berdo’a dengan bahasa Arab, maka tidak mengapa ia berdo’a dengan bahasa yang ia pahami sambil ia terus mempelajari bahasa Arab (agar semakin baik ibadahnya, -pen).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menerangkan,
وَالدُّعَاءُ يَجُوزُ بِالْعَرَبِيَّةِ وَبِغَيْرِ الْعَرَبِيَّةِ وَاَللَّهُ سُبْحَانَهُ يَعْلَمُ قَصْدَ الدَّاعِي وَمُرَادَهُ وَإِنْ لَمْ يُقَوِّمْ لِسَانَهُ فَإِنَّهُ يَعْلَمُ ضَجِيجَ الْأَصْوَاتِ بِاخْتِلَافِ اللُّغَاتِ عَلَى تَنَوُّعِ الْحَاجَاتِ .
“Berdo’a boleh dengan bahasa Arab dan bahasa non Arab. Allah subhanahu wa ta’ala tentu saja mengetahui setiap maksud hamba walaupun lisannya pun tidak bisa menyuarakan. Allah Maha Mengetahui setiap do’a dalam berbagai bahasa pun itu dan Dia pun Maha Mengetahui setiap kebutuhan yang dipanjatkan”(Majmu’ Al Fatawa, 22/489)
Sumber Referensi " Hukum Berdoa dengan Bahasa Non Arab", karya Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal Msc. di rumaysho.c
No comments:
Post a Comment