Oleh Siswo Kusyudhanto
Kalau lihat foto profil teman yang menunjukkan "saya pribumi", jadi ingin bikin sticker lawannya, yakni, "saya bukan pribumi" agar mengingatkan banyak orang bahwa tempat kita bukan disini .
Jadi ingat kajian Ustadz Maududi Abdullah di Jakarta beberapa waktu lalu, saat itu beliau bertanya kepada jamaah yang hadir, "kalau boleh tau kampung asli mana dari yang hadir dikajian ini, itu bapak yang baju hijau asalnya mana pak?", bapak itu menjawab, "Cilacap ustadz", ustadz melanjutkan bertanya, "ya yang bapak itu aslinya mana?", bapak itu menjawab, "Nganjuk ustadz", sampai orang ketiga, "kampung mana pak?", orang itu menjawab, "asli Pariaman tadz". Lalu Ustadz Maududi Abdullah, "sengaja saya pilih orangnya agar jawabannya demikian, sebenarnya jawaban dari antum semua kurang benar yaa, sejatinya kampung kita tidak disini, kampung kita bukan ada didunia, tapi kampung sebenarnya adalah akhirat, kelak kita semua akan kembali kepada kampung yang sebenarnya itu. Ketahuilah hidup didunia ini adalah kesempatan bercocok tanam, dengan amal ibadah, dan kita tuai hasilnya ketika kita kembali ke akhirat. "
Menurut kamus Bahasa Indonesia, Pribumi, orang asli, warga negara [...] asli atau penduduk asli adalah setiap orang yang lahir di suatu tempat, wilayah atau negara, dan menetap di sana dengan status orisinal, asli atau tulen (indigenious) sebagai kelompok etnis yang diakui sebagai suku bangsa bukan pendatang dari negeri lainnya.
Maka sebenarnya kita adalah pendatang dimuka bumi ini, karena asal kita bukan berasal dari sini.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita sikap yang benar dalam kehidupan di dunia dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Jadilah kamu di dunia seperti orang asing atau orang yang sedang melakukan perjalanan.” (HR. Al Bukhari no. 6053)
Hadits ini merupakan bimbingan bagi orang yang beriman tentang bagaimana seharusnya dia menempatkan dirinya dalam kehidupan di dunia. Karena orang asing (perantau) atau orang yang sedang melakukan perjalanan adalah orang yang hanya tinggal sementara dan tidak terikat hatinya kepada tempat persinggahannya, serta terus merindukan untuk kembali ke kampung halamannya. Demikianlah keadaan seorang mukmin di dunia yang hatinya selalu terikat dan rindu untu kembali ke kampung halamannya yang sebenarnya, yaitu surga tempat tinggal pertama kedua orang tua kita, Adam ‘alaihis salam dan istrinya Hawa, sebelum mereka berdua diturunkan ke dunia.
Dalam sebuah nasehat tertulis yang disampaikan Imam Hasan Al Bashri kepada Imam Umar bin Abdul Azizi, beliau berkata: “…Sesungguhnya dunia adalah negeri perantauan dan bukan tempat tinggal (yang sebenarnya), dan hanyalah Adam ‘alaihis salam diturunkan ke dunia ini untuk menerima hukuman (akibat perbuatan dosanya)…” (Dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Ighaatsatul Lahfaan (hal. 84 – Mawaaridul Amaan))
Dalam mengungkapkan makna ini Ibnul Qayyim berkata dalam bait syairnya:
Marilah (kita menuju) surga ‘adn (tempat menetap) karena sesungguhnya itulah
Tempat tinggal kita yang pertama, yang di dalamnya terdapat kemah (yang indah)
Akan tetapi kita (sekarang dalam) tawanan musuh (setan), maka apakah kamu melihat
Kita akan (bisa) kembali ke kampung halaman kita dengan selamat?
(Miftaahu Daaris Sa’aadah (1/9-10), juga dinukil oleh Ibnu Rajab dalam kitab beliau Jaami’ul ‘Uluumi Wal Hikam (hal. 462))
Referensi "Perjalanan Menuju Akhirat", oleh Ustadz Abdullah Taslim, di muslim. Or. Id
No comments:
Post a Comment