Oleh Siswo Kusyudhanto
Ada kabar kurang menyenangkan dari seorang teman bahwa dia di masjid dekat rumahnya dilarang oleh pengurus masjid menjadi imam shalat fardhu, padahal si teman ini soal hafalan sudah lumayan banyak, sekitar 18 juz, dan soal bacaannya juga sangat baik, semua kaidah tajwid terpenuhi, semua hak huruf hijaiyah juga terpenuhi, hampir tidak ada cacat dalam soal bacaan, jika dibandingkan dengan orang sekitar lingkungan dia yang teratas, sementara orang lain di masjid itu mungkin soal hafalan surat tak lebih dari juz 30 saja, belum lagi kaidah tajwidnya.
Alasan dia dilarang menjadi imam shalat fardhu cuma gara-gara tidak melakukan dzikir dan doa secara berjama'ah saja selepas shalat fardhu, beberapa orang di masjid itu menyebutkan bahwa mayoritas jama'ah di situ bermazhab Syafi'iiyah dan menolak amalan mazhab lainnya dipraktekkan di masjid ini, subhanaAllah.
Mungkin alasan yang muncul ini adalah buah dari kejahilan yang tersebar dikalangan Umat Muslim kita, atau bisa juga ini akumulasi karena banyaknya da'i-da'i yang menyebarkan materi kajian dan informasi yang tidak benar dikalangan umat islam di negri kita, mereka meyakinkan masyarakat luas seakan kebiasaan berdzikir berjamaah selepas shalat fardhu adalah berasal dari Mazhab Syafi'iiyah, padahal andaikata mereka mau belajar soal ini akan mereka temukan itu cuma isapan jempol, alias sebuah kebohongan semata, fakta ilmiahnya justru menunjukkan fakta sebaliknya.
Dalam sebuah kajian Ustadz Armen Halim Naro Rahimahullah pernah menuturkan keheranan beliau atas kebiasaan Umat Muslim di Indonesia yang kebanyakan mengaku bermazhab Syafi'iyah namun mereka selalu melakukan doa dan dzikir secara berjama'ah, padahal kalau melihat pendapat keempat mazhab besar dalam Islam, yakni Mazhab Malikiyah, Mazhab Hanafiyah, Mazhab Syafi'iiyah dan Mazhab Hambali, maka kita temukan Mazhab Syafi'iyah yang paling keras melarang melakukan doa dan dzikir secara berjamaah selepas shalat fardhu.
Mungkin ini adalah jawaban dari pertanyaan kenapa kitab-kitab Imam Syafi'i sangat jarang dikaji dan disampaikan di Indonesia.
Waallahua'lam.
Mungkin ini adalah jawaban dari pertanyaan kenapa kitab-kitab Imam Syafi'i sangat jarang dikaji dan disampaikan di Indonesia.
Waallahua'lam.
---------------------------------
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata :
Pendapatku untuk imam dan makmum hendaklah mereka berdzikir selepas selesai sholat. Hendaklah mereka memelankan (secara sir) dzikir kecuali jika imam ingin mengajar bacaan-bacaan dzikir tersebut, maka ketika itu dzikir dikeraskanlah, hingga dia menduga bahwa telah dipelajari darinya (bacaan-bacaan dzikir tersebut-pen), lalu setelah itu ia memelankan kembali dzikirnya. Karena sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman
وَلا تَجْهَرْ بِصَلاتِكَ وَلا تُخَافِتْ بِهَا
“Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya” (QS Al-Isroo’ : 110) (Al-Umm 2/288).
Yaitu –wallahu A’lam- tatkala berdoa, “Dan janganlah engkau keraskan suaramu” yaitu “Jangan kau angkat suaramu”, dan “Janganlah engkau merendahkannya” sehingga engkau sendiri tidak mendengar”
وَلا تَجْهَرْ بِصَلاتِكَ وَلا تُخَافِتْ بِهَا
“Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya” (QS Al-Isroo’ : 110) (Al-Umm 2/288).
Yaitu –wallahu A’lam- tatkala berdoa, “Dan janganlah engkau keraskan suaramu” yaitu “Jangan kau angkat suaramu”, dan “Janganlah engkau merendahkannya” sehingga engkau sendiri tidak mendengar”
Adapun mengenai hadits-hadits yang menunjukkan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi terdengar suara dzikirnya maka Imam Syafi’i menjelaskan seperti berikut:
Menurutku Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeraskan (dzikir) sedikit agar orang-orang bisa belajar dari beliau. Kerana kebanyakan riwayat yang telah kami tulis bersama ini atau selainnya, tidak menyebut selepas salam terdapat tahlil dan takbir. Kadang-kala riwayat menyebut Nabi berdzikir selepas solat seperti yang aku nyatakan, kadang-kala disebut bahwa Nabi pergi tanpa berdzikir. Ummu Salamah menyebutkan bahwa Nabi selepas sholat menetap di tempat sholatnya akan tetapi tidak menyebutkan bahwa Nabi berdzikir dengan jahr (keras). Aku rasa beliau tidaklah menetap kecuali untuk berdzikir dengan dzikir yang tidak dikeraskan/dijaharkan.
Jika seseorang berkata: “Seperti apa?” (maksudnya permasalahan ini seperti permasalahan apa yang lain?-pen). Aku katakan, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersolat di atas mimbar, dimana beliau berdiri dan rukuk di atasnya, kemudian beliau mundur belakang untuk sujud di atas tanah. Nabi tidaklah solat di atas mimbar pada kebanyakan usia beliau. Akan tetapi menurutku beliau ingin agar orang yang jauh yang tidak melihat beliau, dapat mengetahui bagaimana cara berdiri (dalam sholat), rukuk dan bangun (dari rukuk). Beliau ingin mengajarkan mereka keluasan dalam itu semua.
Aku suka sekiranya imam berzikir nama Allah di tempat duduknya sebentar dengan kadar hingga perginya jama’ah wanita sebagaimana yang dikatakan oleh Ummu Salamah. Kemudian imam boleh bangun. Jika dia bangun sebelum itu, atau duduk lebih lama dari itu, tidak mengapa. Makmum boleh pergi setelah imam selesai memberi salam, sebelum imam bangun. Jika dia tunda/akhirkan sehingga imam pergi, atau ia pergi bersama imam, maka itu lebih aku sukai untuknya. ” (Al-Umm 2/288-289)
Perkataan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah di atas juga dinukil oleh Al-Imam An-Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzzab (3/468-469), setelah itu Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :
“Al-Baihaqi dan yang lainnya berhujjah untuk tafsiran (yang disebutkan oleh Al-Imam Asy-Syafi’i-pen) dengan hadits Aisyah semoga Allah meridhoinya, beliau berkata tentang firman Allah
وَلا تَجْهَرْ بِصَلاتِكَ وَلا تُخَافِتْ بِهَا
“Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya” (QS Al-Isroo’ : 110)
“Ayat ini turun tentang perihal berdo’a”, diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim.
Demikian pula perkataan para ashaab (para ulama besar madzhab syafi’iyah-pen) bahwasanya dzikir dan do’a setelah sholat disunnahkan untuk dibaca dengan sir (pelan). Kecuali sang imam ingin mengajari orang-orang maka ia membacanya dengan keras, dan jika mereka (para makmum) telah mengetahui maka sang imam kembali membaca dengan pelan.
وَلا تَجْهَرْ بِصَلاتِكَ وَلا تُخَافِتْ بِهَا
“Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya” (QS Al-Isroo’ : 110)
“Ayat ini turun tentang perihal berdo’a”, diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim.
Demikian pula perkataan para ashaab (para ulama besar madzhab syafi’iyah-pen) bahwasanya dzikir dan do’a setelah sholat disunnahkan untuk dibaca dengan sir (pelan). Kecuali sang imam ingin mengajari orang-orang maka ia membacanya dengan keras, dan jika mereka (para makmum) telah mengetahui maka sang imam kembali membaca dengan pelan.
Al-Baihaqi dan yang lainnya berhujjah/berdalil tentang (pembacaan dzikir/doa) secara pelan dengan hadits Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu beliau berkata, “Kami bersama Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam (dalam safar), dan jika kami naik dari lembah maka kamipun bertahlil dan bertakbir. Maka keraslah suara kami, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Wahai manusia, hendaknya kalian lembut terhadap diri kalian, sesungguhnya kalian tidak menyeru kepada dzat yang tuli dan tidak hadir, sesungguhnya Allah bersama kalian Maha Mendengar dan Maha Dekat” (Al-Majmuu’ Syarh Al-Muhadzdzab 3/469)
Sumber Referensi "Ajaran-ajaran Imam Syafi'i yang ditinggalkan pengikutnya", karya Ustadz Firanda Adirja, di web Firanda.co
No comments:
Post a Comment