Dalam sebuah kesempatan seorang jamaah bertanya kepada seorang ustadz, "ya ustadz kenapa kita tidak ikut demo seperti mereka ?", jawaban ustadz, " karena kita ahlus sunnah, artinya segala sesuatu termasuk bersikap kepada pemerintah mengikuti sunnahnya, dan cara demikian bukan yang diserukan dalam As sunnah ". Jamaah itupun masih belum puas, " lalau bagaimana kita menasehati pemerintah agar mengikuti aspirasi kita?", si ustadz beranjak dari tempatnya, kemudian mendekati jamaah, sangat dekat, dan berbisik seakan memberi nasehat, jamaah itu bingung, "dengan cara berbisik?", " iya", jawab ustadz. Si jamaah masih merasa belum puas atas jawaban itu, " kalau pemerintah tidak mau mengikuti aspirasi kita setelah kita nasehat?", si ustadz menjawab," ya doakan, itulah usaha kita", si jamaah belum puas juga," kalau misal saya ikut cara mereka demo?", lalu si ustadz menjawab, " ya artinya anda keluar dari ahlus sunnah dengan sendirinya, karena itu bukan amalan sunnah, karena arti ahlus sunnah adalah pengikut amalan-amalan yang telah disunnahkan, dan ajaran Rasulullah tidak ada cara yang demikian dalam menasehati pemerintah". Baru jamaah itu terdiam.
Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِيْ سُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِهِ عَلاِنِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِيْ عَلَيْهِ
“Barang siapa ingin menasihati seorang penguasa maka jangan ia tampakkan terang-terangan, akan tetapi hendaknya ia mengambil tangan penguasa tersebut dan menyendiri dengannya. Jika dengan itu, ia menerima (nasihat) darinya maka itulah (yang diinginkan, red.) dan jika tidak menerima maka ia (yang menasihati) telah melaksanakan kewajibannya.” (Sahih, HR. Ahmad, Ibnu Abu ‘Ashim dan yang lain, disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Zhilalul Jannah, no. 1096—1098, lihat pula takhrijnya dalam kitab Mu’amalatul Hukkam, hlm. 143—151)[1]
nasihat
Ketika membawakan hadits di atas, al-Imam Ahmad rahimahullah menyebutkan sebuah kisah. Kata beliau, seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bernama ‘Iyadh bin Ghunm radhiallahu ‘anhu yang menjadi penguasa di wilayah Syam (Siyar A’lamin Nubala, 2/354
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِيْ سُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِهِ عَلاِنِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِيْ عَلَيْهِ
“Barang siapa ingin menasihati seorang penguasa maka jangan ia tampakkan terang-terangan, akan tetapi hendaknya ia mengambil tangan penguasa tersebut dan menyendiri dengannya. Jika dengan itu, ia menerima (nasihat) darinya maka itulah (yang diinginkan, red.) dan jika tidak menerima maka ia (yang menasihati) telah melaksanakan kewajibannya.” (Sahih, HR. Ahmad, Ibnu Abu ‘Ashim dan yang lain, disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Zhilalul Jannah, no. 1096—1098, lihat pula takhrijnya dalam kitab Mu’amalatul Hukkam, hlm. 143—151)[1]
nasihat
Ketika membawakan hadits di atas, al-Imam Ahmad rahimahullah menyebutkan sebuah kisah. Kata beliau, seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bernama ‘Iyadh bin Ghunm radhiallahu ‘anhu yang menjadi penguasa di wilayah Syam (Siyar A’lamin Nubala, 2/354
No comments:
Post a Comment