Salah satu Ustadz yang mengajar di salah satu kelas bacaan Al-Qur'an yang dimana saya ikut membantu yakni sebuah penjara, yang peserta nya tentu para napi, isinya jelas pelaku kejahatan semua, mulai bandar togel, bandar narkoba, pelaku pemerkosaan, pencopet, koruptor, pelaku pembunuh dan seterusnya, bahkan beberapa adalah residivis, alias pelaku kejahatan yang berulang ulang, beliau cerita kalau menasehati mereka lebih mudah karena kebanyakan diantara mereka secara fitrah manusia sadar yang dilakukan adalah salah, namun giliran menasehati tetangganya yang ketua tahlil kematian agar meninggalkan amalan itu susahnya minta ampun, lalu beliau mengutip perkataan Imam Atsyauri, seorang ulama Tabi'in tentang hal ini, bahwa iblis lebih mencintai pelaku kebid'ahan daripada pelaku maksiat (kejahatan) karena pelaku maksiat lebih mudah untuk bertaubat, waalahua'lam.
Mengapa Dosa Bid’ah Lebih Besar dari Maksiat?
Dijawab oleh team konsultasi syariah di konsultasi Syariah.co
Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh
Ustadz mau tanya, apakah ada hadits yang menyatakan bahwa derajat orang yang suka tahlilan lebih rendah dari pada seorang pelacur?
Wa’alaikumus salam wa rahmatullah wa barakatuh
Sampai saat ini kami belum menjumpai hadits Nabi yang isinya sebagaimana yang ditanyakan. Namun mungkin yang dimaksudkan adalah perkataan seorang tabiin bernama Sufyan ats Tsauri:
قال وسمعت يحيى بن يمان يقول سمعت سفيان يقول : البدعة أحب إلى إبليس من المعصية المعصية يتاب منها والبدعة لا يتاب منها
Ali bin Ja’d mengatakan bahwa dia mendengar Yahya bin Yaman berkata bahwa dia mendengar Sufyan (ats Tsauri) berkata, “Bid’ah itu lebih disukai Iblis dibandingkan dengan maksiat biasa. Karena pelaku maksiat itu lebih mudah bertaubat. Sedangkan pelaku bid’ah itu sulit bertaubat” (Diriwayatkan oleh Ibnu Ja’d dalam Musnadnya no 1809 dan Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis hal 22).
Faktor terpenting yang mendorong seseorang untuk bertaubat adalah merasa berbuat salah dan merasa berdosa. Perasaan ini banyak dimiliki oleh pelaku kemaksiatan tapi tidak ada dalam hati orang yang gemar dengan bid’ah. Oleh karena itu, bagaimana mungkin seorang pelaku bid’ah bertaubat ketika dia tidak merasa salah bahkan dia merasa mendapat pahala dan mendekatkan diri kepada Allah dengan bid’ah yang dia lakukan.
Mungkin berdasarkan perkataan Sufyan ats Tsauri ini ada orang yang berkesimpulan bahwa orang yang melakukan bid’ah semisal tahlilan itu lebih rendah derajatnya dibandingkan yang melakukan maksiat semisal melacurkan diri.
Muhammad bin Husain al Jizani ketika menjelaskan poin-poin perbedaan antara maksiat dan bid’ah mengatakan, “Oleh karena itu maksiat memiliki kekhasan berupa ada perasaan menginginkan bertaubat dalam diri pelaku maksiat. Ini berbeda dengan pelaku bid’ah. Pelaku bid’ah hanya semakin mantap dengan terus menerus melakukan kebid’ahan karena dia beranggapan bahwa amalnya itu mendekatkan dirinya kepada Allah, terlebih para pemimpin kebid’ahan besar. Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah,
أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآَهُ حَسَنًا
“Maka Apakah orang yang dijadikan (syaitan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu Dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh syaitan)?” (Qs. Fathir:8)
Sufyan ats Tsauri mengatakan, “Bid’ah itu lebih disukai Iblis dibandingkan dengan maksiat biasa. Karena pelaku maksiat itu lebih mudah bertaubat. Sedangkan pelaku bid’ah itu sulit bertaubat”.
Dalam sebuah atsar (perkataan salaf) Iblis berkata, “Kubinasakan anak keturunan Adam dengan dosa namun mereka membalas membinasakanku dengan istighfar dan ucapan la ilaha illallah. Setelah kuketahui hal tersebut maka kusebarkan di tengah-tengah mereka hawa nafsu (baca:bid’ah). Akhirnya mereka berbuat dosa namun tidak mau bertaubat karena mereka merasa sedang berbuat baik” [lihat al Jawab al Kafi 58, 149-150 dan al I’tisham 2/62].
Oleh karena itu secara umum bid’ah itu lebih berbahaya dibandingkan maksiat. Hal ini dikarenakan pelaku bid’ah itu merusak agama. Sedangkan pelaku maksiat sumber kesalahannya adalah karena mengikuti keinginan yang terlarang. [al Jawab al Kafi hal 58 dan lihat Majmu Fatawa 20/103].
Ketentuan ini hanya bernilai benar dan berlaku jika tidak ada indikator dan kondisi yang menyebabkan berubahnya status sebuah maksiat atau bid’ah.
Di antara contoh untuk indikator dan kondisi yang dimaksudkan adalah sebagai berikut. Sebuah penyimpangan baik berbentuk maksiat atau bid’ah akan besar dosanya jika dilakukan secara terus menerus, diiringi sikap meremehkan, anggapan kalau hal itu dibolehkan, dilakukan secara terang terangan atau sambil mengajak orang lain untuk melakukannya. Demikian pula sebuah maksiat atau bid’ah itu nilai dosanya berkurang jika dilakukan sambil sembunyi-sembunyi, tidak terus menerus atau penyesalan dan taubat.
Contoh lain untuk indikator adalah sebuah penyimpangan itu semakin besar dosanya jika bahaya yang ditimbulkannya semakin besar. Penyimpangan yang merusak prinsip-prinsip pokok agama itu dosanya lebih besar dari pada yang merusak hal-hal parsial dalam agama. Demikian pula, sebuah penyimpangan yang merusak agama itu lebih besar dosanya dibandingkan penyimpangan yang sekedar merusak jiwa.
Ringkasnya, ketika kita akan membandingkan bid’ah dengan maksiat maka kita harus memperhatikan situasi dan keadaan, menimbang manfaat dan bahaya dari komparasi tersebut dan memikirkan efek yang mungkin terjadi di kemudian hari dari pembandingan tersebut.
Penjelasan mengenai bahaya bid’ah dan ungkapan hiperbola untuk menunjukkan betapa ngerinya bid’ah sepatutnya tidaklah menyebabkan-pada saat ini atau di kemudian hari-sikap meremehkan dan menyepelekan maksiat.
Sebaliknya, penjelasan mengenai bahaya maksiat dan ungkapan hiperbola untuk menunjukkan betapa ngerinya maksiat sepatutnya tidaklah menyebabkan-pada saat ini atau di kemudian hari-sikap meremehkan dan menyepelekan bid’ah.” (Qawaid Ma’rifah al Bida’ hal 31-33, cetakan Dar Ibnul Jauzi Saudi Arabia).
Penjelasan di atas sangat perlu dilakukan oleh setiap orang yang ingin mengingatkan orang lain akan bahaya bid’ah supaya kita menjadi sebab terbukanya pintu-pintu keburukan tanpa kita sadari.