Oleh Siswo Kusyudhanto
Banyak teman yang sering melakukan amalan-amalan yang tidak ada contohnya dari nabi ataupun sahabat ketika dinasehati selalu berdalih, "khan didalamnya ada doa dan dzikir juga shalawat, lalu letak salahnya dimana?, apakah ada larangannya?", subhanaAllah, mungkin dia belum tau bahwa dalam beragama itu mengikuti contoh dari nabi dan para sahabatnya, atau dilarang keras mengarang-ngarang sendiri sebuah amalan meskipun kita nilai itu baik, karena mustahil kita tau ada kebaikan dalam amalan tersebut sementara Nabi Muhammad Shalallahu alaihi Wasallam tidak tau dan juga tidak diajarkan kepada para sahabatnya?.
Mengutip apa yang disampaikan oleh seorang ustadz dari Malaysia, kata beliau "jika ada seorang melakukan shalat subuh empat rakaat apakah termasuk amalan sesat?, pasti semua orang sepakat itu pelakunya adalah orang yang telah tersesat, karena shalat subuh cuma dua rakaat, apapun dalihnya shalat subuh empat rakaat tetap sesat meskipun pelakunya berdalih didalam shalatnya itu menyembah Allah Azza Wa jalla dan dialamnya ada juga doa, dzikir dan shalawat.
Demikian juga dengan amalan-amalan bid'ah, atau amalan lainnya yang tidak ada contohnya sama sekali dari Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa Sallam dan juga tidak ada contoh dari para sahabat beliau.
Karena sudah jelas dalam agama kita(Islam) setiap amal ibadah harus mengikuti contoh(yang disunnahkan), dan jika amalan yang dibuat-buat meskipun ada doa, dzikir dan shalwat tetaplah amalan itu masuk dalam amalan sesat.
waallahua'lam."
Suatu saat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkisah,
خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا ثُمَّ قَالَ هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ ثُمَّ خَطَّ خُطُوطًا عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ هذه سبل و عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو إِلَيْهِ ثُمَّ قَرَأَ {وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَتَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ}
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat sebuah garis lurus bagi kami, lalu bersabda, ‘Ini adalah jalan Allah’, kemudian beliau membuat garis lain pada sisi kiri dan kanan garis tersebut, lalu bersabda, ‘Ini adalah jalan-jalan (yang banyak). Pada setiap jalan ada syetan yang mengajak kepada jalan itu,’ kemudian beliau membaca,
{وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَتَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ}
‘Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya’” ([Al An’am: 153] Hadits shahih diriwayatkan oleh Ahmad dan yang lainnya)
Para imam tafsir menjelaskan bahwa pada ayat ini, Allah Tabaraka wa Ta’ala menggunakan bentuk jamak ketika menyebutkan jalan-jalan yang dilarang manusia mengikutinya, yaitu {السُّبُلَ}, dalam rangka menerangkan cabang-cabang dan banyaknya jalan-jalan kesesatan. Sedangkan pada kata tentang jalan kebenaran, Allah Subhanahu wa Ta’ala menggunakan bentuk tunggal dalam ayat tersebut, yaitu {سَبِيلِهِ}. karena memang jalan kebenaran itu hanya satu, dan tidak berbilang. (Sittu Duror, hal.52).
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Dan ini disebabkan, karena jalan yang mengantarkan (seseorang) kepada Allah hanyalah satu. Yaitu sesuatu yang dengannya, Allah mengutus para Rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya. Tiada seorangpun yang dapat sampai kepada-Nya, kecuali melalui jalan ini” (Sittu Duror, hal.53).
Sumber Referensi "Jalan Kebenaran hanya satu", karya Ustadz Sa'id Abu Ukasyah di muslim.or